Selasa, 20 November 2012

Sebuah Perjuangan Penegakan Legal Karakter PPN dalam Transaksi Pemakaian Sendiri BKP/JKP



KEP-87/PJ/2002 Tentang Pengenaan PPN dan PPnBM atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian Cuma-Cuma telah bertahan selama hampir 10 tahun sejak pertama kali diundangkan pada tanggal 18 Februari 2002 sebagai tindak lanjut pasal 1A ayat 1 huruf d UU No. 8 tahun 1983 stdt UU No. 18 tahun 2000 jo. KMK 567/KMK.04/2000. Pengenaan PPN atas kegiatan pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma BKP/JKP ini diberlakukan agar sesuai dengan asas keadilan. Memang dirasa tidak adil bila pengusaha telah mengkreditkan Pajak Masukan yang dibayar atas pembelian bahan-bahan baku barang produksi/ barang dagangan, namun pengusaha tersebut tidak menyetorkan Pajak Keluaran atas transaksi pemakaian sendiri/ pemberian cuma-cuma dengan alasan tidak terjadi transaksi yang melibatkan pembayaran.

Juklak dari KEP-87/PJ/2002 adalah SE-04/PJ.51/2002. Kedua aturan pelaksanaan pasal 1A ayat 1 huruf d tersebut secara garis besar menjelaskan mengenai hal-hal berikut:


1. Penegasan definisi atas Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-Cuma
Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak adalah pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri, Pengurus, atau diberikan kepada anggota keluarganya atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, selain pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif. Sementara itu, definisi pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak adalah pemberian yang diberikan tanpa imbalan pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, termasuk pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.

Makna definisi barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri ini seringkali menimbulkan kontroversi. Sebagian berpendapat bahwa pabrikan sepatu yang memberikan hadiah gelas secara cuma-cuma kepada karyawannya terutang PPN meskipun gelas tersebut bukan produksinya atau bukan barang dagangannya mengacu pada Kep-87/PJ/2002 di atas. Akan tetapi menurut beberapa pakar ilmu PPN -jujur saya lebih sependapat, hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip PPN bahwa PPN dikenakan harus dalam lingkup kegiatan usahanya. Hal ini dikarenakan saat penyerahan BKP/JKP yang berkaitan dengan kegiatan usahanya, Pajak Masukan atas Bahan Baku/ Dagangannya dapat dikreditkan sehingga wajar bila dikenakan PPN agar mekanisme PK-PM tidak boleh terputus. Sementara, untuk pemberian cuma-cuma/ pemakaian sendiri BKP yang bukan dalam lingkup kegiatan usahanya, pengusaha jelas bertindak sebagai end-user saat pembelian dan Pajak Masukannya dari awal sudah tidak dapat dikreditkan. Jika saat pemakaian sendiri/ pemberian cuma-cuma yang notabene dalam pasal 1A UU PPN termasuk dalam pengertian penyerahan BKP, tetap dikenakan PPN tentu saja akan menyalahi prinsip pengenaan PPN dalam pasal 4 huruf a UU PPN.

Dengan demikian, kesimpulan yang dapat diambil adalah selama dalam lingkup yang berkaitan dengan kegiatan usahanya, pemberian cuma-cuma maupun pemakaian sendiri BKP/JKP baik barang produksi sendiri (pabrikan) maupun bukan produksi sendiri (distributor, agen, pedagang eceran) terutang PPN.
Contoh:
  • Toko Sepatu kulit memberikan sabuk kulit kepada 100 karyawannya. Jelas terlihat bahwa bahan baku berupa kulit tersebut bisa jadi merupakan limbah/ sisa/ produk sampingan dari produksi sepatu kulit. Menurut definisi pasal 1 angka 7 UU PPN limbah dan produk sampingan juga dianggap BKP. Dengan demikian atas pemakaian sendiri sabuk kulit tersebut terutang PPN.
  • Toko Sepatu kulit memberikan sumbangan 50 kg beras kepada yayasan yatim piatu. Beras bukanlah produksi dari toko sepatu serta bukan pula berkaitan dengan lingkup kegiatan usahanya. Dengan demikian, atas pemberian cuma-cuma beras tersebut tidak terutang PPN.
  • Sebuah supermarket memberikan hadiah gelas keramik dagangannya kepada karyawan. Meskipun gelas keramik tersebut bukan barang produksinya sendiri, penyerahan tersebut dilakukan dalam lingkup kegiatan usahanya. Dengan demikian atas transaksi pemakaian sendiri tersebut terutang PPN.
  • Sebuah bank memberikan hadiah mobil kepada salah satu nasabahnya. Jelas sekali terlihat bahwa mobil bukanlah barang produksinya sendiri dan tidak pula berkaitan dengan kegiatan usahanya. Oleh karena itu, atas pemberian cuma-cuma mobil tersebut tidak terutang PPN.

      2. Penegasan DPP sebagai juklak dari KMK 567/KMK.04/2000
Dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor. (KMK 567/KMK.04/2000 jo. KEP 87/PJ/2002 jo. SE-04/PJ.51/2002)

    3. Penegasan bahwa Pemakaian BKP/ JKP untuk Tujuan Produktif Tidak Terutang PPN/PPnBM
Pemakaian BKP dan atau JKP untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan BKP/JKP sehingga tidak terutang PPN/PPnBM.
Maksud dari kata “tujuan produktif” adalah penyerahan yang meliputi produksi, distribusi, manajemen, dan pemasaran. Penyerahan BKP yang diluar keempat definisi tersebut, dipersamakan dengan tujuan konsumtif.

Sebenarnya pasal ini menyalahi legal karakter PPN mengenai netralitas bahwa seluruh penyerahan barang/ jasa yang memenuhi syarat dan sepanjang bukan negative list terutang PPN dan wajib dipungut PPN. Akan tetapi, mengingat bahwa Pajak Masukan untuk kegiatan produktif juga dapat dikreditkan, hal tersebut mengakibatkan pajak yang disetor atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif adalah nol karena PK dan PM nilainya sama. Demi kemudahan administrasi perpajakan, akhirnya dibuat aturan bahwa pemakaian BKP/ JKP untuk tujuan produktif tidak terutang PPN sehingga hilanglah legal karakter PPN dan terputuslah mekanisme pengkreditan pajak masukan dan keluaran tersebut. Sungguh ironis bahwa sebuah KEP yang posisinya jauh dibawah Undang-Undang mampu membatasi sebuah pengertian penyerahan BKP dan bahkan mampu mengaburkan legal karakter PPN.

Penyimpangan filosofi PPN ini terus berlangsung dan menjadi perdebatan para ahli serta pakar PPN selama kurun waktu hampir sepuluh tahun. Hingga akhirnya muncullah momentum untuk mengembalikan legal karakter PPN tersebut melalui UU PPN perubahan ketiga yaitu UU No. 42 tahun 2009 pada 1 April 2010 yang diikuti dengan diundangkannya PP 1 tahun 2012 pada tanggal 4 Januari 2012. Melalui pasal 5 PP 1 tahun 2012 ditegaskan kembali unsur legal karakter PPN pada transaksi pemakaian sendiri BKP khususnya untuk tujuan produktif.

Melalui pasal 5 PP 1 Tahun 2012, ditegaskan bahwa pada dasarnya transaksi pemakaian sendiri BKP/ JKP merupakan penyerahan BKP/JKP yang terutang PPN/PPnBM. Pemakaian sendiri dipilah menjadi dua jenis, yaitu pemakaian sendiri untuk tujuan produktif dan pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif. Pasal ini seolah menjadi gerbang pembuka dalam penegakan kembali legal karakter PPN bahwa selain penyerahan negative list, pada dasarnya seluruh penyerahan terutang PPN.  Otomatis dengan menganut asas lex priori derogate lex posteriori, ketentuan dalam Kep 87/PJ/2012 bahwa pemakaian sendiri untuk tujuan produktif tidak terutang PPN akhirnya dipatahkan. Jadi, dalam PP tersebut dinyatakan bahwa pemakaian sendiri untuj tujuan produktif tetap terutang PPN/PPnBM, hanya saja tidak dilakukan pemungutan PPN/PPnBM demi kemudahan administrasi perpajakan. Dengan demikian, sejak 4 Januari 2012, Pajak Masukan atas bahan baku yang akan diolah untuk BKP/JKP yang akan digunakan sendiri untuk tujuan produktif tetap dapat dikreditkan (Pasal 5 ayat 4 PP 1 tahun 2012). PKP tidak perlu lagi melakukan pemilahan penyerahan yang terutang dan tidak terutang PPN guna melakukan penghitungan Perhitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seperti diatur dalam PMK 78/PMK.03/2010.

Selain penegasan di atas, PP 1 tahun 2012 juga mengatur ketentuan baru mengenai perlakuan terhadap pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang nantinya akan digunakan untuk penyerahan yang tidak terutang PPN/ mendapat fasilitas PPN dibebaskan. Khusus untuk pemakaian sendiri tersebut terutang PPN meskipun untuk tujuan produktif. Hanya saja, pajak masukan atas transaksi tersebut tidak dapat dikreditkan oleh pengusaha yang melakukan pemakaian sendiri. (Note: bedakan pajak masukan atas transaksi pemakaian sendiri dengan pajak masukan dalam perolehan bahan baku yang akan diolah untuk menghasilkan BKP. Saya biasa menyebutnya Pajak Masukan pengusaha step pertama dan pajak masukan pengusaha step kedua).

Berikut ini diambil contoh dari memori penjelasan PP 1Tahun 2012 mengenai pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang nantinya digunakan untuk menghasilkan barang yang tidak terutang PPN/ dibebaskan PPN:
 “Pabrikan ban menggunakan ban produksinya untuk kendaraan angkutan umum. Penyerahan jasa angkutan umum merupakan penyerahan yang tidak terutang PPN. Demikian pula dengan Pajak Masukan atas perolehan kendaraan angkutan umum tersebut tidak dapat dikreditkan. Jika perlakuannya dipersamakan dengan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yaitu PPNnya tidak dipungut, selain menimbulkan potensial loss, tentu saja akan terjadi ketimpangan sebab Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan (Tidak bisa menghasilkan PK-PM=0 seperti halnya pemakaian sendiri untuk tujuan produktif).  Dengan demikian, dibuatlah kebijakan pengecualian yaitu untuk transaksi tersebut dikenakan PPN sejak 4 Januari 2012. Dasar Pengenaan Pajak untuk transaksi ini sendiri mengikuti PMK 75/PMK.03/2010 mengenai DPP nilai lain yaitu sebesar harga jual/penggantian dikurangi laba kotor.  

Sementara itu, demi ketegasan hukum serta menghindari adanya kerancuan penafsiran antara PP 1 tahun 2012 dengan KEP-87/PJ/2002, dibuatlah PER 22/PJ/2012 yang mencabut KEP 87/PJ/2012. Peraturan Dirjen Pajak ini berlaku sejak 4 Januari 2012 bertepatan dengan berlakunya PP 1 Tahun 2012. Dengan demikian, sejak 4 Januari 2012, pengaturan tentang mekanisme pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma sah diatur oleh Peraturan Pemerintah yang jelas kedudukannya jauh di atas KEP/PER. Sebuah aturan baru yang berusaha menegakkan kembali legal karakter PPN dalam transaksi pemakaian sendiri BKP/JKP.  

NB:
  1. Tidak perlu bingung mengenai aturan pemberian cuma-cuma apakah dikenakan PPN atau tidak dengan dicabutnya KEP-87/PJ/2012 karena UU PPN Pasal 1A masih belum berubah dan pemberian cuma-cuma masih tergolong sebagai salah satu pengertian penyerahan BKP dengan DPP sebesar Harga Jual/Penggantian dikurangi Laba Kotor (PMK-75/PMK.03/2010).
  2. Penulis menganggap contoh yang diambil dalam penjelasan PP 1 Tahun 2012 mengenai pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang nantinya digunakan untuk penyerahan yang tidak terutang PPN/dibebaskan tidak tepat. Dalam contoh tersebut, sebuah pabrikan ban yang jelas-jelas lingkup kegiatan usahanya adalah produksi dan perdagangan ban melakukan pemakaian sendiri bannya untuk tujuan produktif. Berbicara mengenai tujuan produktif jelas pikiran kita akan mengarah kepada kegiatan produksi, pemasaran, manajemen, dan distribusi. Ternyata, contoh tersebut mengarahkan pemakaian sendiri ban untuk kendaraan angkutan umum. Kendaraan angkutan umum biasanya terbuka untuk publik dan sama sekali tidak berkaitan dengan kegiatan produktif. Kalaupun dipaksakan angkutan ulum untuk karyawan saat melakukan kegiatan pemasaran menurut penulis juga tidak dapat ditolerir. Karena jika digunakan khusus oleh karyawan pasti bukan jasa angkutan umum yang termasuk pengertian non BKP dalam pasal 4A ayat 3. Oleh karena itu diharapkan ada contoh lain yang lebih applicable di lapangan mengenai ketentuan pasal 5 ayat 3 PP 1 tahun 2012.

Oleh : Rizmy Otlani

Tulisan di atas merupakan pendapat pribadi penulis sehingga wajar bila terjadi perbedaan  pendapat dengan pembaca. Penulis dengan senang hati dan terbuka menerima masukan sebagai sarana diskusi untuk mengembangkan pengetahuan lebih mendalam.

8 komentar:

  1. "Sungguh ironis bahwa sebuah KEP (87/2002) yang posisinya jauh dibawah Undang-Undang (18/2000) mampu membatasi sebuah pengertian penyerahan BKP dan bahkan mampu mengaburkan legal karakter PPN."

    1. Definisi pemakaian sendiri dalam UU 18/2000:
    pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.

    Pemakaian sendiri untuk tujuan produksi bukanlah pemakaian sendiri yang dimaksud dalam UU sehingga bukan penyerahan juga. KEP tersebut tidak membatasi, UU sudah membatasinya dulu.

    2. Setahu saya, netralitas PPN adalah PPN dikenakan atas semua konsumsi BKP atau JKP, bukan dikenakan atas seluruh penyerahan BKP atau JKP sehingga bisa saya katakan, KEP dan UU tidak melanggar karakter netralitas PPN.

    Justru pemakaian untuk tujuan produksi yang dikenai PPN, baik dilakukan pemungutan atau tidak, melanggar karakter PPN yakni PPN merupakan pajak konsumsi dan netralitas PPN.

    BalasHapus
  2. Wah, seru nih ada marli ^^
    Ayo sharing li. Nah, salah satu legal karakter PPN memang PPN merupakan Pajak atas Konsumsi barang dalam negeri. Kalau dilihat sekilas memang PPN seharusnya dikenakan cuma ke end user saja/ konsumen. Tapi, PPN kan dikenakan atas value added (pertambahan nilai). Dimana ada value added maka disanalah ada PPN. Selain itu, PPN juga menganut prinsip mekanisme pengkreditan pajak. Oleh karena itu, bagi pengusaha, saat dia membeli bahan baku, barang modal, dsb. tetap dikenai kewajiban membayar Pajak Masukan. (Artinya di sini ada PPN terutang.). Tujuannya agar mekanisme pengkreditan pajak tidak terputus, pajak masukan dapat dikreditkan, serta PPN bisa dikenakan atas value added.

    Kesimpulannya, kita ngga bisa mengatakan bahwa barang modal/ bahan baku yang nanti akan diolah dan dijual (tujuan produksi) tidak terutang PPN karena:
    1. Konsekuensinya Pajak masukan tidak bisa dikreditkan
    2. Mekanisme PK PM terputus
    3. DJP bisa kehilangan potensi PPN dari value addednya.
    Jadi jalan keluarnya adalah bahwa pada dasarnya seluruh penyerahan terutang PPN (selama memenuhi syarat pasal 4) dan sepanjang yang diserahkan bukan termasuk negative list. Namun, untuk produksi, Pajak masukannya dapat dikreditkan (sehingga PPN hanya dikenakan atas value addednya ). Sementara pada KEP 87, mekanisme umum tersebut dilanggar.

    BalasHapus
  3. Saya tidak bilang pemakaian sendiri untuk tujuan produksi tidak terutang. Saya bilang pemakaian sendiri untuk tujuan produksi sama seperti tidak terjadi peristiwa hukum apa-apa.

    BalasHapus
  4. nah, kalau itu aku setuju. Dari kemarin nyari kata2 yang pas tentang pemakaian sendiri untuk tujuan produksi supaya bisa disampaikan maksudnya. Kata2 "seperti tidak terjadi peristiwa hukum apa2" itulah yang bisa menggambarkan ^^. Thx li.

    BalasHapus
  5. Sama-sama, My. Belajar demi produk Dit PP II yang lebih baik ke depannya. :D

    BalasHapus
  6. Aamiiiin....^^b

    BalasHapus
  7. Mohon Bantuannya Mbak Rizmy :
    1. Apakah Pemakaian Sendiri untuk tujuan produktif yang "tidak dilakukan pemungutan PPN" itu perlu dibuatkan faktur pajak ?
    2. bagaimana perlakuannya perpajakannya jika BKP yang dipakai sendiri itu merupakan BKP yang mendapat fasilitas dibebaskan PPN ? (baik untuk tujuan produktif maupun tujuan konsumtif).

    trims

    BalasHapus
  8. How to get the minimum bet on Wheel of Fortune?
    A minimum bet on Wheel of Fortune can 제주도 출장마사지 be 안양 출장샵 a single-game wager. Learn how 광주광역 출장마사지 to 남양주 출장안마 read 동두천 출장안마 our complete guide to playing Wheel of Fortune.

    BalasHapus