KEP-87/PJ/2002 Tentang Pengenaan
PPN dan PPnBM atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian Cuma-Cuma telah
bertahan selama hampir 10 tahun sejak pertama kali diundangkan pada tanggal 18
Februari 2002 sebagai tindak lanjut pasal 1A ayat 1 huruf d UU No. 8 tahun 1983
stdt UU No. 18 tahun 2000 jo. KMK 567/KMK.04/2000. Pengenaan PPN atas kegiatan
pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma BKP/JKP ini diberlakukan agar sesuai dengan
asas keadilan. Memang dirasa tidak adil bila pengusaha telah
mengkreditkan Pajak Masukan yang dibayar atas pembelian bahan-bahan baku barang
produksi/ barang dagangan, namun pengusaha tersebut tidak menyetorkan Pajak
Keluaran atas transaksi pemakaian sendiri/ pemberian cuma-cuma dengan alasan
tidak terjadi transaksi yang melibatkan pembayaran.
Juklak dari KEP-87/PJ/2002 adalah SE-04/PJ.51/2002. Kedua aturan pelaksanaan pasal 1A ayat 1 huruf d tersebut secara garis besar menjelaskan mengenai hal-hal berikut:
1. Penegasan
definisi atas Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-Cuma
Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak
adalah pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri, Pengurus, atau diberikan
kepada anggota keluarganya atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, selain
pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif. Sementara itu, definisi
pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak adalah pemberian yang diberikan tanpa
imbalan pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan
produksi sendiri, termasuk pemberian contoh barang untuk promosi kepada
relasi atau pembeli.
Makna definisi barang produksi
sendiri maupun bukan produksi sendiri ini seringkali menimbulkan kontroversi.
Sebagian berpendapat bahwa pabrikan sepatu yang memberikan hadiah gelas secara
cuma-cuma kepada karyawannya terutang PPN meskipun gelas tersebut bukan
produksinya atau bukan barang dagangannya mengacu pada Kep-87/PJ/2002 di atas. Akan
tetapi menurut beberapa pakar ilmu PPN -jujur saya lebih sependapat, hal
tersebut tidak sesuai dengan prinsip PPN bahwa PPN dikenakan harus dalam
lingkup kegiatan usahanya. Hal ini dikarenakan saat penyerahan BKP/JKP yang
berkaitan dengan kegiatan usahanya, Pajak Masukan atas Bahan Baku/ Dagangannya
dapat dikreditkan sehingga wajar bila dikenakan PPN agar mekanisme PK-PM tidak
boleh terputus. Sementara, untuk pemberian cuma-cuma/ pemakaian sendiri BKP
yang bukan dalam lingkup kegiatan usahanya, pengusaha jelas bertindak sebagai end-user saat pembelian dan Pajak
Masukannya dari awal sudah tidak dapat dikreditkan. Jika saat pemakaian
sendiri/ pemberian cuma-cuma yang notabene dalam pasal 1A UU PPN termasuk dalam
pengertian penyerahan BKP, tetap dikenakan PPN tentu saja akan menyalahi
prinsip pengenaan PPN dalam pasal 4 huruf a UU PPN.
Dengan demikian, kesimpulan yang
dapat diambil adalah selama dalam lingkup yang berkaitan dengan kegiatan
usahanya, pemberian cuma-cuma maupun pemakaian sendiri BKP/JKP baik barang
produksi sendiri (pabrikan) maupun bukan produksi sendiri (distributor, agen, pedagang
eceran) terutang PPN.
Contoh:
- Toko Sepatu kulit memberikan sabuk kulit kepada 100 karyawannya. Jelas terlihat bahwa bahan baku berupa kulit tersebut bisa jadi merupakan limbah/ sisa/ produk sampingan dari produksi sepatu kulit. Menurut definisi pasal 1 angka 7 UU PPN limbah dan produk sampingan juga dianggap BKP. Dengan demikian atas pemakaian sendiri sabuk kulit tersebut terutang PPN.
- Toko Sepatu kulit memberikan sumbangan 50 kg beras kepada yayasan yatim piatu. Beras bukanlah produksi dari toko sepatu serta bukan pula berkaitan dengan lingkup kegiatan usahanya. Dengan demikian, atas pemberian cuma-cuma beras tersebut tidak terutang PPN.
- Sebuah supermarket memberikan hadiah gelas keramik dagangannya kepada karyawan. Meskipun gelas keramik tersebut bukan barang produksinya sendiri, penyerahan tersebut dilakukan dalam lingkup kegiatan usahanya. Dengan demikian atas transaksi pemakaian sendiri tersebut terutang PPN.
- Sebuah bank memberikan hadiah mobil kepada salah satu nasabahnya. Jelas sekali terlihat bahwa mobil bukanlah barang produksinya sendiri dan tidak pula berkaitan dengan kegiatan usahanya. Oleh karena itu, atas pemberian cuma-cuma mobil tersebut tidak terutang PPN.
2. Penegasan
DPP sebagai juklak dari KMK 567/KMK.04/2000
Dasar pengenaan pajak yang
digunakan adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor. (KMK
567/KMK.04/2000 jo. KEP 87/PJ/2002 jo. SE-04/PJ.51/2002)
3. Penegasan
bahwa Pemakaian BKP/ JKP untuk Tujuan Produktif Tidak Terutang PPN/PPnBM
Pemakaian BKP dan atau JKP untuk
tujuan produktif belum merupakan penyerahan BKP/JKP sehingga tidak
terutang PPN/PPnBM.
Maksud dari kata “tujuan produktif”
adalah penyerahan yang meliputi produksi, distribusi, manajemen, dan pemasaran.
Penyerahan BKP yang diluar keempat definisi tersebut, dipersamakan dengan
tujuan konsumtif.
Sebenarnya pasal ini menyalahi
legal karakter PPN mengenai netralitas bahwa seluruh penyerahan barang/ jasa
yang memenuhi syarat dan sepanjang bukan negative
list terutang PPN dan wajib dipungut PPN. Akan tetapi, mengingat bahwa
Pajak Masukan untuk kegiatan produktif juga dapat dikreditkan, hal tersebut
mengakibatkan pajak yang disetor atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif
adalah nol karena PK dan PM nilainya sama. Demi kemudahan administrasi
perpajakan, akhirnya dibuat aturan bahwa pemakaian BKP/ JKP untuk tujuan
produktif tidak terutang PPN sehingga hilanglah legal karakter PPN dan
terputuslah mekanisme pengkreditan pajak masukan dan keluaran tersebut. Sungguh
ironis bahwa sebuah KEP yang posisinya jauh dibawah Undang-Undang mampu
membatasi sebuah pengertian penyerahan BKP dan bahkan mampu mengaburkan legal
karakter PPN.
Penyimpangan filosofi PPN ini terus berlangsung dan menjadi
perdebatan para ahli serta pakar PPN selama kurun waktu hampir sepuluh tahun.
Hingga akhirnya muncullah momentum untuk mengembalikan legal karakter PPN
tersebut melalui UU PPN perubahan ketiga yaitu UU No. 42 tahun 2009 pada 1
April 2010 yang diikuti dengan diundangkannya PP 1 tahun 2012 pada tanggal 4
Januari 2012. Melalui pasal 5 PP 1 tahun 2012 ditegaskan kembali unsur legal
karakter PPN pada transaksi pemakaian sendiri BKP khususnya untuk tujuan
produktif.
Melalui pasal 5 PP 1 Tahun 2012, ditegaskan bahwa pada
dasarnya transaksi pemakaian sendiri BKP/ JKP merupakan penyerahan
BKP/JKP yang terutang PPN/PPnBM. Pemakaian sendiri dipilah menjadi dua
jenis, yaitu pemakaian sendiri untuk tujuan produktif dan pemakaian sendiri
untuk tujuan konsumtif. Pasal ini seolah menjadi gerbang pembuka dalam penegakan
kembali legal karakter PPN bahwa selain penyerahan negative list, pada dasarnya seluruh penyerahan terutang PPN. Otomatis dengan menganut asas lex priori derogate lex posteriori, ketentuan
dalam Kep 87/PJ/2012 bahwa pemakaian sendiri untuk tujuan produktif tidak
terutang PPN akhirnya dipatahkan. Jadi, dalam PP tersebut dinyatakan
bahwa pemakaian sendiri untuj tujuan produktif tetap terutang PPN/PPnBM, hanya
saja tidak
dilakukan pemungutan PPN/PPnBM demi kemudahan administrasi perpajakan.
Dengan demikian, sejak 4 Januari 2012, Pajak Masukan atas bahan baku yang
akan diolah untuk BKP/JKP yang akan digunakan sendiri untuk tujuan produktif
tetap dapat dikreditkan (Pasal 5 ayat 4 PP 1 tahun 2012). PKP tidak perlu lagi
melakukan pemilahan penyerahan yang terutang dan tidak terutang PPN guna
melakukan penghitungan Perhitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seperti
diatur dalam PMK 78/PMK.03/2010.
Selain penegasan di atas, PP 1 tahun 2012 juga mengatur
ketentuan baru mengenai perlakuan terhadap pemakaian sendiri untuk tujuan
produktif yang nantinya akan digunakan untuk penyerahan yang tidak terutang
PPN/ mendapat fasilitas PPN dibebaskan. Khusus untuk pemakaian sendiri tersebut
terutang PPN meskipun untuk tujuan produktif. Hanya saja, pajak masukan atas
transaksi tersebut tidak dapat dikreditkan oleh pengusaha yang melakukan
pemakaian sendiri. (Note: bedakan pajak masukan atas transaksi pemakaian sendiri
dengan pajak masukan dalam perolehan bahan baku yang akan diolah untuk
menghasilkan BKP. Saya biasa menyebutnya Pajak Masukan pengusaha step pertama
dan pajak masukan pengusaha step kedua).
Berikut ini diambil contoh dari
memori penjelasan PP 1Tahun 2012 mengenai pemakaian sendiri untuk tujuan
produktif yang nantinya digunakan untuk menghasilkan barang yang tidak terutang
PPN/ dibebaskan PPN:
“Pabrikan ban menggunakan ban produksinya
untuk kendaraan angkutan umum. Penyerahan jasa angkutan umum merupakan
penyerahan yang tidak terutang PPN. Demikian pula dengan Pajak Masukan atas
perolehan kendaraan angkutan umum tersebut tidak dapat dikreditkan. Jika
perlakuannya dipersamakan dengan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yaitu
PPNnya tidak dipungut, selain menimbulkan potensial loss, tentu saja akan terjadi
ketimpangan sebab Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan (Tidak bisa
menghasilkan PK-PM=0 seperti halnya pemakaian sendiri untuk tujuan
produktif). Dengan demikian, dibuatlah
kebijakan pengecualian yaitu untuk transaksi tersebut dikenakan PPN sejak 4
Januari 2012. Dasar Pengenaan Pajak untuk transaksi ini sendiri mengikuti PMK
75/PMK.03/2010 mengenai DPP nilai lain yaitu sebesar harga jual/penggantian
dikurangi laba kotor.
Sementara itu, demi ketegasan
hukum serta menghindari adanya kerancuan penafsiran antara PP 1 tahun 2012
dengan KEP-87/PJ/2002, dibuatlah PER 22/PJ/2012 yang mencabut KEP 87/PJ/2012.
Peraturan Dirjen Pajak ini berlaku sejak 4 Januari 2012 bertepatan dengan
berlakunya PP 1 Tahun 2012. Dengan demikian, sejak 4 Januari 2012, pengaturan
tentang mekanisme pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma sah diatur oleh
Peraturan Pemerintah yang jelas kedudukannya jauh di atas KEP/PER. Sebuah
aturan baru yang berusaha menegakkan kembali legal karakter PPN dalam transaksi
pemakaian sendiri BKP/JKP.
NB:
- Tidak perlu bingung mengenai aturan pemberian cuma-cuma apakah dikenakan PPN atau tidak dengan dicabutnya KEP-87/PJ/2012 karena UU PPN Pasal 1A masih belum berubah dan pemberian cuma-cuma masih tergolong sebagai salah satu pengertian penyerahan BKP dengan DPP sebesar Harga Jual/Penggantian dikurangi Laba Kotor (PMK-75/PMK.03/2010).
- Penulis menganggap contoh yang diambil dalam penjelasan PP 1 Tahun 2012 mengenai pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang nantinya digunakan untuk penyerahan yang tidak terutang PPN/dibebaskan tidak tepat. Dalam contoh tersebut, sebuah pabrikan ban yang jelas-jelas lingkup kegiatan usahanya adalah produksi dan perdagangan ban melakukan pemakaian sendiri bannya untuk tujuan produktif. Berbicara mengenai tujuan produktif jelas pikiran kita akan mengarah kepada kegiatan produksi, pemasaran, manajemen, dan distribusi. Ternyata, contoh tersebut mengarahkan pemakaian sendiri ban untuk kendaraan angkutan umum. Kendaraan angkutan umum biasanya terbuka untuk publik dan sama sekali tidak berkaitan dengan kegiatan produktif. Kalaupun dipaksakan angkutan ulum untuk karyawan saat melakukan kegiatan pemasaran menurut penulis juga tidak dapat ditolerir. Karena jika digunakan khusus oleh karyawan pasti bukan jasa angkutan umum yang termasuk pengertian non BKP dalam pasal 4A ayat 3. Oleh karena itu diharapkan ada contoh lain yang lebih applicable di lapangan mengenai ketentuan pasal 5 ayat 3 PP 1 tahun 2012.
Oleh : Rizmy Otlani
Tulisan di atas merupakan pendapat pribadi penulis sehingga wajar bila terjadi perbedaan pendapat dengan pembaca. Penulis dengan senang hati dan terbuka menerima masukan sebagai sarana diskusi untuk mengembangkan pengetahuan lebih mendalam.
"Sungguh ironis bahwa sebuah KEP (87/2002) yang posisinya jauh dibawah Undang-Undang (18/2000) mampu membatasi sebuah pengertian penyerahan BKP dan bahkan mampu mengaburkan legal karakter PPN."
BalasHapus1. Definisi pemakaian sendiri dalam UU 18/2000:
pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
Pemakaian sendiri untuk tujuan produksi bukanlah pemakaian sendiri yang dimaksud dalam UU sehingga bukan penyerahan juga. KEP tersebut tidak membatasi, UU sudah membatasinya dulu.
2. Setahu saya, netralitas PPN adalah PPN dikenakan atas semua konsumsi BKP atau JKP, bukan dikenakan atas seluruh penyerahan BKP atau JKP sehingga bisa saya katakan, KEP dan UU tidak melanggar karakter netralitas PPN.
Justru pemakaian untuk tujuan produksi yang dikenai PPN, baik dilakukan pemungutan atau tidak, melanggar karakter PPN yakni PPN merupakan pajak konsumsi dan netralitas PPN.
Wah, seru nih ada marli ^^
BalasHapusAyo sharing li. Nah, salah satu legal karakter PPN memang PPN merupakan Pajak atas Konsumsi barang dalam negeri. Kalau dilihat sekilas memang PPN seharusnya dikenakan cuma ke end user saja/ konsumen. Tapi, PPN kan dikenakan atas value added (pertambahan nilai). Dimana ada value added maka disanalah ada PPN. Selain itu, PPN juga menganut prinsip mekanisme pengkreditan pajak. Oleh karena itu, bagi pengusaha, saat dia membeli bahan baku, barang modal, dsb. tetap dikenai kewajiban membayar Pajak Masukan. (Artinya di sini ada PPN terutang.). Tujuannya agar mekanisme pengkreditan pajak tidak terputus, pajak masukan dapat dikreditkan, serta PPN bisa dikenakan atas value added.
Kesimpulannya, kita ngga bisa mengatakan bahwa barang modal/ bahan baku yang nanti akan diolah dan dijual (tujuan produksi) tidak terutang PPN karena:
1. Konsekuensinya Pajak masukan tidak bisa dikreditkan
2. Mekanisme PK PM terputus
3. DJP bisa kehilangan potensi PPN dari value addednya.
Jadi jalan keluarnya adalah bahwa pada dasarnya seluruh penyerahan terutang PPN (selama memenuhi syarat pasal 4) dan sepanjang yang diserahkan bukan termasuk negative list. Namun, untuk produksi, Pajak masukannya dapat dikreditkan (sehingga PPN hanya dikenakan atas value addednya ). Sementara pada KEP 87, mekanisme umum tersebut dilanggar.
Saya tidak bilang pemakaian sendiri untuk tujuan produksi tidak terutang. Saya bilang pemakaian sendiri untuk tujuan produksi sama seperti tidak terjadi peristiwa hukum apa-apa.
BalasHapusnah, kalau itu aku setuju. Dari kemarin nyari kata2 yang pas tentang pemakaian sendiri untuk tujuan produksi supaya bisa disampaikan maksudnya. Kata2 "seperti tidak terjadi peristiwa hukum apa2" itulah yang bisa menggambarkan ^^. Thx li.
BalasHapusSama-sama, My. Belajar demi produk Dit PP II yang lebih baik ke depannya. :D
BalasHapusAamiiiin....^^b
BalasHapusMohon Bantuannya Mbak Rizmy :
BalasHapus1. Apakah Pemakaian Sendiri untuk tujuan produktif yang "tidak dilakukan pemungutan PPN" itu perlu dibuatkan faktur pajak ?
2. bagaimana perlakuannya perpajakannya jika BKP yang dipakai sendiri itu merupakan BKP yang mendapat fasilitas dibebaskan PPN ? (baik untuk tujuan produktif maupun tujuan konsumtif).
trims
How to get the minimum bet on Wheel of Fortune?
BalasHapusA minimum bet on Wheel of Fortune can 제주도 출장마사지 be 안양 출장샵 a single-game wager. Learn how 광주광역 출장마사지 to 남양주 출장안마 read 동두천 출장안마 our complete guide to playing Wheel of Fortune.