Senin, 19 Desember 2011

Legal Karakter PPN dan Kaitannya dengan UU PPN No. 8 tahun 1983 stdt. UU No. 42 tahun 2009

Artikel ini ditulis sembari menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul tentang pasal-pasal manakah dalam UU PPN 1984 yang menunjukkan bahwa PPN memiliki delapan legal karakter sebagai berikut:

1.       Pajak tidak langsung
2.       Pajak objektif
3.       Tarif Tunggal (single rate)
4.       Multi stage tax
5.       Indirect Substraction Method
6.       Consumption Type VAT
7.       Pajak atas konsumsi dalam negeri
8.       Destination principle


1.       PAJAK TIDAK LANGSUNG
Sebagai pajak tidak langsung, penanggung jawab dan pemikul beban pajak berada pada pihak yang berbeda. Pembeli atau penerima jasa sebagai pemikul beban pajak, sedangkan penjual atau pengusaha jasa sebagai penanggung jawab pajak. Penjual jasa di sini bertanggung jawab sebagai penyetor PPN yang telah dipungut dari konsumen ke kas negara. Sementara, jika konsumen sudah dipungut PPN, sama artinya dengan konsumen tersebut telah membayar ke kas negara.
Dalam UU PPN tahun  1984, legal karakter PPN sebagai pajak tidak langsung secara implisit dituangkan dalam pasal-pasal berikut:
a.       Pasal 1 UU PPN
Pasal 1 UU PPN 1984 lebih banyak membahas mengenai definisi-definisi karena menurut penulis, definisi-definisi tersebut merupakan nyawa dari UU PPN dan dari definisi tersebut bisa ditelusuri pihak –pihak berikut:

1)      Pemikul beban PPN

Pemikul beban PPN pada dasarnya adalah pembeli/penerima jasa karena menerima manfaat dari penyerahan BKP/JKP yang dilakukan oleh PKP (Pengusaha Kena Pajak).
Dalam UU PPN 1984 pasal 1 angka 21 dan angka 22 disebutkan sebagai berikut:
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
Tidak ada kata-kata yang secara eksplisit menunjukkan bahwa pembeli atau penerima jasa diwajibkan membayar PPN karena referensi yang terdapat dalam ayat tersebut adalah diwajibkan membayar (Harga Barang Kena Pajak dan Penggantian atas Jasa Kena Pajak).
Sementara itu, dalam pasal 1 angka 18 dan 19 UU PPN disebutkan pengertian Harga Jual dan Penggantian sebagai berikut:
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Setelah membaca uraian ayat tersebut, lalu dimanakah pasal yang menyebutkan bahwa PPN wajib dibayar atau dipikul oleh pembeli atau penerima jasa sebagai konsumen BKP/JKP? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, lebih baik dianalisis dulu pembahasan mengenai penanggung jawab PPN berikut.

2). Penanggung Jawab PPN
Penanggung jawab PPN pada dasarnya adalah Penjual/Pengusaha Jasa. Menurut pasal 1 angka 14 dan 15 UU PPN, dijelaskan definisi dari pengusaha dan Pengusaha Kena Pajak sebagai berikut:
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.15. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
Dari definisi tersebut jelas terlihat bahwa setiap penyerahan BKP/JKP (dalam hal ini merupakan objek pajak menurut pasal 4 UU PPN 1984) akan dikenakan pajak yang disebut dengan Pajak Pertambahan Nilai.
Kembali kepada permasalahan di atas, dimanakah pasal yang menyebutkan bahwa PPN wajib dibayar atau dipikul oleh pembeli atau penerima jasa sebagai konsumen BKP/JKP? Dari uraian pada pasal 4 UU PPN, dapat kita simpulkan bahwa atas penyerahan BKP/JKP yang merupakan objek PPN harus dikenai pajak
Jika pihak yang memikul atau membayar pajak sama dengan pihak yang menyetor ke negara (contoh Pajak Penghasilan), maka disebut dengan pajak langsung. Sementara, bila pihak yang memikul/membayar pajak berbeda dengan pihak yang memungut dan menyetor ke negara, maka dapat disimpulkan bahwa pajak tersebut termasuk pajak tidak langsung. Hal tersebut akan dijelaskan secara gambling pada pembahasan di bawah ini.

b.      Pasal 3A Ayat 1 UU PPN
Karakteristik PPN sebagai pajak tidak langsung jelas terlihat dalam pasal 3A ayat 1 UU PPN 1984 yang berbunyi sebagai berikut.
Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
Pasal 3A UU PPN 1984 tersebut jelas mengindikasikan bahwa yang PPN yang harus dibayar ke kas negara tersebut melalui mekanisme pemungutan oleh pihak lain (dalam hal ini PKP), kemudian disetorkan dan dilaporkan juga oleh PKP. Karena ada referensi kata dipungut, artinya PKP bukanlah pihak yang memikul beban PPN. Pihak yang sesungguhnya memikul beban PPN adalah menerima perolehan BKP/JKP.
Hal tersebut diperkuat pula dengan adanya pasal 1 angka 24 dan 25 yang menunjukkan adanya pengertian pajak masukan dan pajak keluaran sebagai berikut:
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
Ayat tersebut dengan jelas memberikan gambaran bahwa Pajak Masukan tersebut hanyalah pajak yang dibayar ke kas negara oleh PKP karena PKP memperoleh manfaat atas BKP/JKP (selama tidak dijual kembali). Jika PKP melakukan penyerahan BKP/JKP, maka pajak masukan yang telah dibayar ke kas negara tersebut akan digantikan dengan pajak keluaran yang dipungut dari pembeli/penerima jasa selanjutnya.  Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya PKP tidak pernah memikul beban PPN. PPN hanyalah dipikul oleh mereka yang menerima manfaat atas penyerahan BKP/JKP yang dalam hal ini adalah pembeli/penerima jasa.
Meskipun sudah jelas terlihat bahwa pihak yang bertanggung jawab dan memikul beban pajak berbeda, sepertinya legal karakter ini sedikit dilanggar dengan munculnya pasal 16 F pada UU PPN No. 8 tahun 1983 stdt. UU PPN No. 42 tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut.
Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar.
Pasal ini seolah-olah mengindikasikan bahwa pembeli BKP masih bertanggung jawab atas  PPN yang disetor ke kas negara. Padahal pada dasarnya selama PPN sudah dipungut oleh PKP dari pembeli BKP/penerima JKP, sama halnya dengan pembeli atau penerima jasa sudah membayar PPN ke kas negara. Aturan ini muncul dikarenakan alasan untuk mengamankan penerimaan negara dan menghindari potensial loss dari penerimaan PPN.


2.       PPN ADALAH PAJAK OBJEKTIF DAN MEMILIKI TARIF TUNGGAL (SINGLE RATE)

      Pengenaan PPN sangat ditentukan oleh kondisi objek pajak. Kondisi subjek pajak, misalnya saja pembeli yang tidak mampu atau berpenghasilan rendah bukan menjadi penghalang bagi pengenaan PPN atas penyerahan suatu objek pajak.
      Legal karakter ini jelas terlihat dalam pasal 7 ayat 1 UU PPN 1984 yang menyatakan sebagai berikut:
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10%
      Dengan adanya ayat tersebut, jelas mengindikasikan bahwa tarif PPN adalah flat rate 10% untuk semua pembeli baik yang mampu maupun tidak mampu. Selama pembeli tersebut membeli sebuah BKP atau memanfaatkan JKP, maka dia akan dikenakan PPN sebesar 10%. Tidak peduli apakah pembeli menggunakan uang hasil dari hutang atau mungkin penghasilannya tidak mencukupi. Kondisi subjek pajak bukanlah hal yang relevan dalam mengenakan PPN. Tidak ada batas minimum pengenaan pajak seperti dalam Pajak penghasilan yang ditunjukkan dengan adanya PTKP, tidak adanya tarif progresif yang mengenakan Pajak semakin tinggi pada subjek yang memiliki penghasilan semakin tinggi. Semuanya dikenakan sama, 10%. dan pengecualian objek PPN hanya dilihat dari objek yang diserahkan, bukan dari subjeknya seperti yang terkandung dalam pasal 4A ayat 2 dan 3 UU PPN 1984.


3.   PPN BERSIFAT MULTISTAGE LEVY NAMUN NON KUMULATIF
   PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi. Meskipun demikian, PPN tidak bersifat berganda sebab pajak masukan atas perolehan barang atau jasa dapat dikreditkan. Dengan demikian, setiap penyerahan barang atau jasa selama barang atau jasa tersebut termasuk Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP), harus tetap dikenakan PPN.
    Legal karakter ini ditunjukkan dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 4 ayat 1 UU PPN 1984 yang berbunyi sebagai berikut:
(1)
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :

a.
penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

b.
impor Barang Kena Pajak;

c.
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

e.
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

f.
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

g.
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan

h.
ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Sementara itu, dalam pasal 1 angka 4 dan 7 UU PPN juga didefinisikan bahwa
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian 
Jasa Kena Pajak.
   Dari kedua pasal tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa PPN dikenakan atas setiap penyerahan BKP/pemberian JKP yang dalam hal ini disebut dengan multistage tax.
    Namun, karakteristik multistaget tax ini tidak lantas menjadikan PPN sebagai pajak berganda karena dalam pasal 9 UU PPN 1984 jelas diatur mengenai mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran seperti yang disebutkan dalam pasal 9 ayat 2 UU PPN 1984
Pajak masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
     Definisi mengenai pajak masukan dan pajak keluaran telah dib ahas pada pembahasan di atas. Dengan demikian, karena pajak masukan yang dibayar oleh PKP suatu saat akan dikreditkan dengan pajak keluaran, maka pajak yang disetor ke kas negara bukanlah suatu pajak berganda, melainkan hanya dikenakan atas nilai tambah suatu barang/jasa.


5.PENGHITUNGAN PPN TERUTANG MENGGUNAKAN INDIRECT SUBTRACTION METHOD
     Menurut Untung Sukardji, Indirect Substraction Method adalah metode penghitungan PPN yang akan disetor ke kas negara dengan cara mengurangkan pajak atas perolehan dengan pajak atas penyerahan barang atau jasa,
   Sebagai konsekuensi dari metode Indirect Subtraction Method ini membutuhkan faktur pajak atas setiap transaksi sebagai sarana pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran.
    Legal karakter tersebut jelas terlihat dalam rangkaian pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan bahwa PPN harus dikenakan pada setiap transaksi, kemudian pada pasal 8A yang menyatakan bahwa :
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain.
     Pasal-pasal tersebut jelas mengindikasikan bahwa PPN dikenakan atas setiap tahapan transaksi yaitu dengan mengalikan tarif dengan DPP (yang dalam hal ini DPP terdapat pada setiap tahapan transaksi, bukan atas jumlah kumulatif penjualan). Karakteristik inilah yang menyebabkan mengapa PPN disebut “Indirect” substraction method yang artinya tidak langsung. Tidak langsung dalam menambahkan setiap Value added seperti dalam addition method atau tidak langsung dalam menghitung selisih harga perolehan dengan harga penyerahan seperti dalam substraction method. Indirect subtraction method menyatakan bahwa setiap perolehan BKP/JKP harus dihitung pajak masukannya dan dibuktikan dengan faktur pajak. Kemudian , setiap penyerahan juga harus dihitung pajak keluarannya dan juga dibuktikan dengan faktur pajak. Total PPN yang harus disetor ke kas negara adalah dengan mengkreditkan pajak masukan terhadap pajak keluaran seperti yang diatur dalam pasal pasal 9 ayat 2 sampai 4 berikut:
(2). Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.(2a). Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.(2b). Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.(4)  Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
6.       PPN ADALAH PAJAK ATAS KONSUMSI DALAM NEGERI & DESTINATION PRINCIPLE
      PPN hanya dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam daerah pabean Republik Indonesia. Asas ini disebut juga prinsip destination principle. Menurut Untung Sukardji, prinsip ini mengandung dua pengertian yaitu PPN bukan pajak atas kegiatan bisnis sehingga pemikul beban pajak adalah konsumen dan hal ini sudah dijelaskan pada nomor 1 pembahasan di atas, dan pengertian yang kedua adalah PPN dikenakan di tempat tujuan barang atau jasa akan dikonsumsi.
        Pembahasan berikut adalah mengenai pengertian yang kedua yaitu PPN dikenakan di tempat tujuan barang/jasa akan dikonsumsi.
        Menurut pasal 4 ayat 1 UU PPN 1984
(1)
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :

a.
penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

b.
impor Barang Kena Pajak;

c.
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

e.
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

f.
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

g.
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan

h.
ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.



   Pasal 4 huruf a,c, d, dan e jelas-jelas mengindikasikan bahwa setiap penyerahan BKP atau JKP harus dilakukan di dalam daerah pabean yang dengan kata lain, dikonsumsi di dalam negeri. Sementara itu, pada poin b, impor BKP tidak perlu dijelaskan lebih lanjut karena impor pastilah memasukkan suatu barang ke dalam daerah pabean.
   Namun, pada poin f,g dan h, terjadi sedikit pelanggaran atas legal karakter ini karena barang yang diekspor justru dikenakan pajak. Namun, dalam pasal 7 ayat 2 dijelaskan bahwa tarif PPN atas ekspor adalah 0% sehingga pengenaan PPN ini semata2 digunakan agar PKP eksportir dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan barang ekspor sehingga pada akhirnya harga barang yang diekspor akan dapat bersaing di pasaran luar negeri karena PPN yang tidak dapat dikreditkan tidak termasuk dalam harga pokok penjualan.


7.PPN YANG DITERAPKAN DI INDONESIA ADALAH PPN TIPE KONSUMSI (CONSUMPTION TYPE VAT)
   Maksud dari legal karakter ini adalah PPN atas pembelian barang modal dapat dikreditkan dan PPN hanya dikenakan terhadap konsumsi barang atau jasa. Pajak ini memberikan indikasi bahwa PPN bukanlah pajak atas kegiatan bisnis.
   Legal karakter ini jelas terlihat dalam pasal 9 ayat 2 UU PPN mengenai  ketentuan bahwa pajak masukan dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama. Definisi pajak masukan dan pajak keluaran juga dapat dilihat dalam pasal 1 angka 24 dan angka 25 seperti yang telah disebutkan di atas.
***
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, berikut ini adalah ringkasan pasal2 yang mengandung delapan legal karakter PPN .
1.       Pajak tidak langsung
Utama: Pasal 3A ayat  1 UU PPN 1984
Pendukung: Pasal  1 angka  14, pasal  1 angka 15,  pasal  1 angka  21, pasal 1 angka 22, pasal 1 angka 24, pasal 1 angka 25 UU PPN 1984
2.       Pajak objektif
Pasal 7 ayat 1 UU PPN 1984
3.       Tarif Tunggal (single rate)
Pasal 7 ayat 1 UU PPN 1984
4.       Multi stage tax namun non kumulatig
Pasal 4 ayat 1
Pasal 1 angka  4 dan angka 7
Pasal 9 ayat 2 (untuk PPN yang bersifat non kumulatif)
5.       Indirect Substraction Method
Pasal 4ayat 1 UU PPN 1984
Pasal 8A UU PPN
Pasal 9 ayat  2 -4 UU PPN 1984
6.       Pajak atas konsumsi dalam negeri & Destination Principle
Pasal 4 ayat 1 huruf a –e UU PPN 1984
7.       Consumption Type VAT
Pasal 9 ayat 2 , pasal 1 angka 24 dan angka 25

3 komentar:

  1. Makasih.. Sangat membantu buat tugas pajak, nih ..

    BalasHapus
  2. Good article....seru bacanya jadi tambah nih ilmunya
    Thank's ya


    Syihab

    BalasHapus
  3. terima kasih ya,, bisa buat belajar,, soalnya gak punya buku pajak buat UAS..

    BalasHapus