Minggu, 19 Januari 2014

Album Merah Maroon



 Dalam bayangan malam ini, di tengah hamparan ribuan bintang yang berpendar bagai sebaran kristal bismut, tiba-tiba siluet itu muncul. Di bawah indahnya langit hitam yang berhiaskan liontin-liontin semesta, menyapaku dengan kerlipan sinarnya seolah-olah tak khawatir akan datangnya sang fajar, panorama gambar-gambar itu terlihat semakin jelas, Seperti putaran film hitam putih yang menimbulkan berbagai sensasi rasa dalam jiwa. Sebuah paradoksal tanpa akhir yang menemaniku di sini. Keindahan ini tenggelam dengan berbagai kemelut perasaan yang berkecamuk dalam dada. Kerinduanku, membawa alam bawah sadar tuk kembali mengingatnya. 

 Mengingat sesosok letih yang sekarang sendiri di bilik kecil kami. Sosok letih namun selalu mengembangkan senyum di wajahnya. Sosok yang tinggal tulang berbalut kulit yang selalu mengucapkan kata-kata “Aku baik-baik saja”. Seolah-olah tak peduli akan penderitaannya. Sosok yang berusaha menyembunyikan kerinduannya pada siapapun. Betapapun sakit yang dirasakan, betapa dalamnya luka yang dibuat oleh mereka yang tidak mengerti akan perasaannya. Dia akan selalu tersenyum.
Aku tahu dia selalu menghitung hari. Berharap Tuhan memberi kesempatan untuk bisa kembali bertatap muka denganku, dengan belahan jiwanya yang sekarang merantau beratus-ratus mil dari tanah kelahirannya. Berharap untuk masih bisa menyambutku di teras rumah dengan kabar gembira yang aku bawa. Berharap masih ada sisa umur untuk kembali mengulang masa-masa indah kami dulu. Berharap aku yang dulu tidak berubah dan akan tetap menerima dia apa adanya seperti dia menerimaku. Dan dia masih menungguku dengan tersenyum.
Kilatan bayangan-bayangan itu semakin menghujam pikiran dan jiwaku. Semakin lama semakin sakit, semakin rindu, dan semakin mencekat. Tanpa terasa tangisanku meledak memecahkan keheningan malam. Aku menangis dan menangis berusaha menepis dingin yang menjalari seluruh tubuhku. Kubiarkan detik-detik berlalu dan kurasakan pipiku masih basah oleh air mata. Saat hendak kuusap air mata kerinduan itu, tiba-tiba aku tersadar bahwa ia telah bermuara pada sesuatu di pangkuan yang menarik perhatianku.
Mataku memandang benda itu, satu-satunya benda yang membuatku masih dapat mengingat wajahnya setelah bertahun-tahun kutinggalkan. Satu-satunya benda yang selama ini mampu mengobati perihnya hati karena rindu yang memuncak. Ya, sebuah album foto dengan sampul merah maroon berhiaskan bordir timbul di pinggirnya. Entah tiba-tiba seperti ada perasaan damai dan hasrat yang menarikku untuk membuka halaman pertama album itu.
Kulihat matanya yang syahdu dan senyumnya yang merekah bak bunga di musim semi,  seolah-olah bangga dengan semua yang aku peroleh selama ini. Tidak peduli seberapa sederhana pakaian yang dipakai, wajahnya tetap memancarkan aura kehangatan yang selalu kurindukan. Setelah puas memandangi wajahnya, kubuka halaman kedua. Kulihat sebuah dapur kecil sederhana dan beberapa alat masak usang. Tapi bukan itu yang menjadi fokusku. Kulihat di tengah dapur sederhana itu, dua orang sedang tertawa bahagia. Yang satu sedang mencuci beras dan yang lain sedang menyalakan kompor sumbu. Momen itu mengingatkanku bahwa kami sering mengisi hari-hari kami dengan memasak bersama.
Masih belum cukup kerinduan ini terobati, kubuka halaman ketiga. Perhatianku tertuju pada baju muslim putih yang kami pakai saat Idul Fitri. Pakaian itu tidak baru, tapi bersih. Ya, dia sangat memperhatikan kebersihan pakaian. Sebuah ciri yang akan selalu melekat pada dirinya. Meskipun harus merelakan tangannya kasar, dia akan tetap sekuat tenaga mengilangkan noda-noda di setiap pakaian yang kami pakai. Dia selalu berkata “Tidak peduli kaya atau miskin, pakaian bersih akan menimbulkan kesan pertama yang menyenangkan bagi orang lain.”
Kubuka halaman keempat. Kulihat sebuah taman kecil dengan tanaman-tanaman berumur belasan tahun. Dia selalu menyirami tanaman-tanaman itu tanpa lelah, bagaikan menyirami hatiku yang kering dengan nasihat-nasihatnya. Nasihat-nasihat sederhana yang selalu diulang setiap waktu hingga masuk ke alam bawah sadarku. “Kalau sudah jadi orang jangan sombong ya, tetap dijaga ibadahnya. Ingat, semua ini titipan Tuhan.”
Kubuka halaman kelima. Saat menatap gambar itu, kurasakan desiran hangat mengalir dalam darahku. Aku masih bisa mendengar detak jantungnya yang teratur. Aku bisa merasakan aliran darahnya yang juga mengalir dalam darahku. Kulihat gambar saat dia memelukku. Dia selalu memelukku. Saat aku merasa sedih, kecewa, kesepian, atau saat aku bahagia, dia selalu memelukku. Dia tidak pernah mengungkapkan lewat kata-kata tentang seberapa besar cintanya padaku. Tapi aku tahu dari pelukannya bahwa dia sangat mencintaiku.
Kubuka halaman selanjutnya dan selanjutnya. Di setiap halaman selalu dapat kulihat senyumnya yang menenengkan hati. Sampai aku tiba di halaman kosong dan kubuka lagi halaman selanjutnya, ternyata masih kosong. Kosong sampai halaman terakhir. Sebuah pikiran terlintas “Aku harus pulang”. Pulang untuk mengisi halaman-halaman kosong tersebut dengan memori kami berdua. Pulang untuk mengisi kerinduan kami berdua. Pulang selama masih belum terlambat dan selama aku masih dapat melihat senyumnya. Ya, aku sudah lama tidak pulang dan bunda pasti sangat merindukanku sekarang. Berkat album merah maroon ini, aku diingatkan untuk kembali pulang. Pulang untuk merasakan hangatnya dekapan kasih bunda.

Sebuah karya untuk Bunda
Batavia, 18 Januari 2014
Rizmy Otlani Novastria


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar