Dalam bayangan malam ini, di tengah hamparan ribuan bintang yang berpendar
bagai sebaran kristal bismut, tiba-tiba siluet itu muncul. Di bawah indahnya
langit hitam yang berhiaskan liontin-liontin semesta, menyapaku dengan kerlipan
sinarnya seolah-olah tak khawatir akan datangnya sang fajar, panorama
gambar-gambar itu terlihat semakin jelas, Seperti putaran film hitam putih yang
menimbulkan berbagai sensasi rasa dalam jiwa. Sebuah paradoksal tanpa akhir
yang menemaniku di sini. Keindahan ini tenggelam dengan berbagai kemelut
perasaan yang berkecamuk dalam dada. Kerinduanku, membawa alam bawah sadar tuk kembali
mengingatnya.
Mengingat sesosok letih yang sekarang
sendiri di bilik kecil kami. Sosok letih namun selalu mengembangkan senyum di
wajahnya. Sosok yang tinggal tulang berbalut kulit yang selalu mengucapkan kata-kata
“Aku baik-baik saja”. Seolah-olah tak
peduli akan penderitaannya. Sosok yang berusaha menyembunyikan kerinduannya
pada siapapun. Betapapun sakit yang dirasakan, betapa dalamnya luka yang dibuat
oleh mereka yang tidak mengerti akan perasaannya. Dia akan selalu tersenyum.
Aku tahu dia
selalu menghitung hari. Berharap Tuhan memberi kesempatan untuk bisa kembali
bertatap muka denganku, dengan belahan jiwanya yang sekarang merantau
beratus-ratus mil dari tanah kelahirannya. Berharap untuk masih bisa
menyambutku di teras rumah dengan kabar gembira yang aku bawa. Berharap masih ada sisa umur untuk kembali mengulang
masa-masa indah kami dulu. Berharap aku yang dulu tidak berubah dan akan tetap
menerima dia apa adanya seperti dia menerimaku. Dan
dia masih menungguku dengan tersenyum.
Kilatan
bayangan-bayangan itu semakin menghujam pikiran dan jiwaku. Semakin lama
semakin sakit, semakin rindu, dan semakin mencekat. Tanpa terasa tangisanku meledak
memecahkan keheningan malam. Aku menangis dan menangis berusaha menepis dingin
yang menjalari seluruh tubuhku. Kubiarkan detik-detik berlalu dan kurasakan
pipiku masih basah oleh air mata. Saat hendak kuusap air mata kerinduan itu,
tiba-tiba aku tersadar bahwa ia telah bermuara pada sesuatu di pangkuan yang
menarik perhatianku.
Mataku memandang
benda itu, satu-satunya benda yang membuatku masih dapat mengingat wajahnya
setelah bertahun-tahun kutinggalkan. Satu-satunya benda yang selama ini mampu
mengobati perihnya hati karena rindu yang memuncak. Ya, sebuah album foto
dengan sampul merah maroon berhiaskan bordir timbul di pinggirnya. Entah
tiba-tiba seperti ada perasaan damai dan hasrat yang menarikku untuk membuka
halaman pertama album itu.
Kulihat matanya yang syahdu dan senyumnya yang merekah bak bunga di musim
semi, seolah-olah bangga dengan semua
yang aku peroleh selama ini. Tidak peduli seberapa sederhana pakaian yang
dipakai, wajahnya tetap memancarkan aura kehangatan yang selalu kurindukan. Setelah
puas memandangi wajahnya, kubuka halaman kedua. Kulihat sebuah dapur kecil sederhana
dan beberapa alat masak usang. Tapi bukan itu yang menjadi fokusku. Kulihat di
tengah dapur sederhana itu, dua orang sedang tertawa bahagia. Yang
satu sedang mencuci beras dan yang lain sedang menyalakan kompor sumbu. Momen
itu mengingatkanku bahwa kami sering mengisi hari-hari kami dengan memasak
bersama.
Masih belum
cukup kerinduan ini terobati, kubuka halaman ketiga. Perhatianku tertuju pada
baju muslim putih yang kami pakai saat Idul Fitri. Pakaian itu tidak baru, tapi
bersih. Ya, dia sangat memperhatikan kebersihan pakaian. Sebuah ciri yang akan
selalu melekat pada dirinya. Meskipun harus merelakan tangannya kasar, dia akan
tetap sekuat tenaga mengilangkan noda-noda di setiap pakaian yang kami pakai.
Dia selalu berkata “Tidak peduli kaya
atau miskin, pakaian bersih akan menimbulkan kesan pertama yang menyenangkan
bagi orang lain.”
Kubuka halaman
keempat. Kulihat sebuah taman kecil dengan tanaman-tanaman berumur belasan
tahun. Dia selalu menyirami tanaman-tanaman itu tanpa lelah, bagaikan menyirami
hatiku yang kering dengan nasihat-nasihatnya. Nasihat-nasihat sederhana yang
selalu diulang setiap waktu hingga masuk ke alam bawah sadarku. “Kalau sudah jadi orang jangan sombong ya,
tetap dijaga ibadahnya. Ingat, semua ini titipan Tuhan.”
Kubuka halaman
kelima. Saat menatap gambar itu, kurasakan desiran hangat mengalir dalam
darahku. Aku masih bisa mendengar detak jantungnya yang teratur. Aku bisa
merasakan aliran darahnya yang juga mengalir dalam darahku. Kulihat gambar saat
dia memelukku. Dia selalu memelukku. Saat aku merasa sedih, kecewa, kesepian,
atau saat aku bahagia, dia selalu memelukku. Dia tidak pernah mengungkapkan
lewat kata-kata tentang seberapa besar cintanya padaku. Tapi aku tahu dari
pelukannya bahwa dia sangat mencintaiku.
Kubuka halaman selanjutnya
dan selanjutnya. Di setiap halaman selalu dapat kulihat senyumnya yang
menenengkan hati. Sampai aku tiba di halaman kosong dan kubuka lagi halaman selanjutnya,
ternyata masih kosong. Kosong sampai halaman terakhir. Sebuah pikiran terlintas
“Aku harus pulang”. Pulang untuk
mengisi halaman-halaman kosong tersebut dengan memori kami berdua. Pulang untuk
mengisi kerinduan kami berdua. Pulang selama masih belum terlambat dan selama
aku masih dapat melihat senyumnya. Ya, aku sudah lama tidak pulang dan bunda pasti
sangat merindukanku sekarang. Berkat album merah maroon ini, aku diingatkan untuk
kembali pulang. Pulang untuk merasakan hangatnya dekapan kasih bunda.
Sebuah karya untuk Bunda
Batavia, 18 Januari 2014
Rizmy
Otlani Novastria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar