Sabtu, 25 Januari 2014

Outlook Ekonomi Indonesia 2014 vs Target Penerimaan Pajak


Pada hari Senin 22 Januari 2013, KPP Wajib Pajak Besar Satu mengadakan In House Training tentang Perbankan dengan mengangkat Tema Evaluasi Kinerja Industri Perbankan Tahun 2013 dan Prospek di Tahun 2014. Pembicara yang diundang adalah seorang ekonom Bank Central Asia yaitu Bapak David Sumual, serta ekonom Standard Chartered Bank yaitu Bapak Fauzi Ichsan. Tujuan pelaksaan IHT ini adalah untuk mengetahui outlook ekonomi Indonesia khususnya dalam bidang perbankan serta mengetahui prospektusnya di tahun 2014 berkaitan dengan penerimaan pajak. 


Sebagaimana telah dijelaskan oleh Bapak Aim Nursalim Saleh (Kepala KPP Wajib Pajak Besar Satu) pada pembukaan IHT bahwa target penerimaan pajak dari DJP pada tahun 2014 meningkat sebesar kurang lebih 1010 Triliun setelah sebelumnya berkisar pada angka 900 Triliun. Dari sektor perbankan sendiri telah menyumbang sekitar 37,5% dari target penerimaan dan akan meningkat pada tahun 2014 ini menjadi 53,31%. Dengan demikian, di tengah isu krisis ekonomi dunia yang masih belum stabil, industri perbankan dirasa menjadi salah satu tulang punggung penerimaan pajak Indonesia yang  penting. Oleh karena itu beliau berharap melalui acara IHT tersebut akan diketahui gambaran kondisi ekonomi Indonesia tahun 2014 sehingga dapat dibaca prognosa kualitatif target penerimaan pajak tahun 2014.

Kondisi Ekonomi Global

Uang dicetak lebih banyak saat periode QE
Bapak David Sumual selaku Chief Economist BCA Group mengungkapkan bahwa pada tahun 2014 mendatang merupakan periode pemulihan serta stabilisasi ekonomi akibat fenomena kebangkrutan Lehman Brothers pada tahun 2008 serta krisis Eropa di Yunani pada tahun 2012. Untuk mengatasi fenomena krisis yang menimbulkan kepanikan pasar finansial global khususnya di Eropa dan AS tersebut, Amerika Serikat membuat sebuah kebijakan ekonomi yang tidak lazim yakni kebijakan Quantitative Easing. Kebijakan ini dilakukan antara lain dengan memangkas bunga dari 0,25% menjadi 0,1%, mencetak uang lebih banyak, serta dengan menyuntikkan likuiditas kepada Emerging Markets (EM). Kebijakan QE tersebut membuat para investor lebih tertarik untuk mengalihkan dananya dari negara maju ke negara Emerging Markets (EM) sehingga menimbulkan euforia sementara kepada negara-negara EM yang kebanyakan adalah negara berkembang.

Akan tetapi, selama periode 2008-2012, stimulus moneter QE yang diharapkan akan mendorong aktivitas perekonomian tersebut justru membawa efek samping, yakni menimbulkan dampak spekulatif (search for yield) dimana investor keluar dari aset finansial dgn yield rendah (mata uang, obligasi) ka aset yang lebih spekulatif (saham, HY bonds, komoditas, dsb.) serta menimbulkan fear effect yakni ketakutan akan inflasi yang mendorong investor ritel beralih ke aset riil (emas, properti, dsb.). Dampak ketiga yang ditimbulkan EQ adalah dampak crypto-currency termasuk bitcoin yang merupakan peningkatan permintaan akan aset serupa uang yang aman dari manipulasi bank sentral.  Akan tetapi, diluar semua efek samping spekulan tersebut, quantitative easing tetap berjasa membawa pemulihan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dari angka minus 2,6% (2009) menjadi 1,7% (2013). Begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi dunia juga mulai membaik dari angka minus 0,7% (2009) menjadi  2,7% (2013).

Kebijakan Quantitative Easing yang dirasa cukup berhasil memulihkan ekonomi global tersebut ditakutkan hanyalah pemulihan semu (liquidity traps) bagi ekonomi dunia, yakni semakin tergantungnya negara-negara EM terhadap pinjaman dana negara asing dengan bunga rendah dan ditakutkan skenario krisis ekonomi dunia akan berulang. Selain itu, kebijakan debt ceiling (pembatasan hutang) per 7 Februari 2014 juga menimbulkan tantangan lain. Ancaman krisis seperti yang terjadi di Eropa pada tahun 2007 lalu juga membayangi Prancis dengan indikator perekonomian yang tumbuh lamban serta tingginya pengangguran (12,1%) per Oktober 2013. Adanya deflationary environment (turunnya inflasi sebesar 0,6%) membuat masyarakat Eropa semakin menunda pembelian barang dan dikhawatirkan akan semakin menurunkan aktivitas ekonomi. Negara China juga membawa tantangan global tersendiri, antara lain dengan kenaikan pajak per April 2014, lemahnya konsumsi, lambatnya pertumbuhan ekonomi, tumpukan utang pemda, aktivitas shadow banking, krisis likuiditas perbankan, serta bubble property di beberapa wilayah China bagian Timur.  India memiliki masalah ekonomi yang hampir serupa dengan Indonesia, yakni maraknya serangan spekulan. Inflasi yang terjadi di India sangat tinggi, yaitu 11,5% dengan defisit transaksi berjalan di atas 4,2% terhadap PDB per September 2013.


Negara-negara EM sangat tergantung pada QE
Oleh karena itu, pada pertengahan tahun 2013 ketika ekonomi AS dan dunia mulai membaik, angka pengangguran menurun menjadi 6,7% serta angka inflasi yang rendah yaitu 1,5%, mendorong FED melakukan tapering setahap demi setahap yakni dengan mengurangi suntikan likuiditas sebesar US$ 10 M/ bulan sehingga menimbulkan dana mengalir keluar dari EM menuju negara maju sebesar US$ 7,8 M untuk ekuitas dan US $ 2,0 M untuk obligasi (per Agustus 2013). Mulai 1 Januari 2014, QE hanya akan dipatok sebesar US $ 75 M/ bulan. Meskipun secara global IMF memprediksikan dengan adanya tapering akan semakin memulihkan ekonomi negara maju sehingga prognosa pertumbuhan ekonomi global meningkat dari angka 2,9% (2013) menjadi 3,6% (2014), tetap ada beberapa negara yang merasakan dampak atas financial outflow tersebut, khususnya negara-negara EM sehingga suntikan dana investasi luar negeri menjadi berkurang. Negara yang merasakan dampak langsung atas adanya tapering ini antara lain Indonesia, India, dan Brazil.

Bapak Fauzi Ichsan juga menekankan bahwa isu kedua yang menimbulkan keresahan bagi negara-negara EM adalah adanya revolusi shale gas di Amerika Serikat. AS telah menemukan sebuah teknologi baru pengeboran minyak yaitu teknologi fracking dimana pengeboran tersebut bisa menembus bebatuan keras sehingga produksi minyak yang dihasilkan AS akan jauh lebih meningkat. Pada tahun 2030, AS diperkirakan akan menjadi negara net exportir minyak mengalahkan Arab Saudi.  Teknologi tersebut tentu saja akan ditiru oleh negara-negara lainnya sehingga supply energi dunia (minyak dan batu bara) akan semakin melimpah dan menimbulkan semakin anjloknya harga minyak bumi & komoditas lainnya. Bagi negara-negara pengekspor komoditas, tentu saja hal tersebut akan menjadi pukulan telak karena nilai ekspor akan semakin menurun dengan menurunnya harga komoditas. Pada akhirnya akan berdampak pada neraca perdagangan negara-negara pengekspor komoditas dan dapat menyebabkan defisit neraca perdagangan yang semakin besar jika tidak diambil langkah pengamanan lebih lanjut.


Outlook Ekonomi Indonesia Tahun 2014

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ekonomi Indonesia memiliki kasus yang hampir mirip dengan negara India, yakni maraknya serangan spekulan serta defisit transaksi berjalan. Bapak David Sumual memaparkan bahwa defisit transaksi berjalan pada tahun 2013 telah mencapai angka 3,5%. Akan tetapi, jika keadaan ekonomi dan konsumsi/impor dapat ditekan untuk tahun 2014 maka defisit hanya akan mencapai angka 2,8%. Keadaan defisit neraca tersebut sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 1997.  Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu dulu Indonesia adalah negara net exportir minyak yang berubah menjadi negara net oil importir sejak tahun 2003. Alasan kedua adalah sebelum terjadinya krisis moneter, negara Indonesia di-supply dana oleh IGGI/CGI. Semenjak pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai membaik dan Indonesia digolongkan sebagai negara menengah, pinjaman CGI/IGGI sekarang lebih bersifat komersiil. Dengan adanya kedua hal tersebut, Indonesia semakin tertekan oleh hasil ekspor yang kurang mencukupi, cicilan imbal hasil yang tinggi, serta meningkatnya subsidi.


Perubahan life style masyarakat Indonesia
Hal tersebut diperparah dengan berubahnya life style masyarakat Indonesia. Terlebih saat periode menurunnya tingkat suku bunga BI Rate di Indonesia, tingkat konsumsi semakin menjadi-jadi karena banyaknya masyarakat yang mengambil kredit untuk barang konsumsi. Padahal, sebagian besar barang konsumsi kita (misal alat-alat elektronik, makanan restoran, pakaian, dsb.) adalah barang impor. Jika konsumsi Indonesia tidak ditekan, impor negara Indonesia tidak akan sanggup mengimbangi ekspor luar negeri dan pada akhirnya defisit neraca perdagangan akan semakin besar.

Sebenarnya Indonesia pernah mengalami masa kejayaan setelah mengalami keterpurukan akibat krisis moneter tahun 1997-1998. Jika Indonesia menengok ke arah 5 tahun ke belakang (2008-2012), dapat dikatakan bahwa lima tahun lalu adalah lima tahun penuh kelimpahan (5 years of plenty). PDB kita terus menguat dari 6,0% menjadi 6,5%, BI rate menurun dari 9,5% menjadi 5,75%, dan menguatnya Rupiah. Hal tersebut disebabkan oleh boomingnya komoditas Indonesia (harga barang-barang komoditas naik sehingga hasil ekspor tinggi) serta inflow modal (banjir likuiditas akibat QE). Akan tetapi, dengan tidak adanya reformasi stuktural yang meliputi pembenahan infrastruktur, produktivitas, serta pasar tenaga kerja, akhirnya kondisi kelimpahan tersebut kembali ke kondisi normal pada tahun 2013. PDB menurun menjadi +/- 5%, BI rate terus meningkat hingga mencapai angka 8%, serta imbal hasil SUN 10Y yang mencapai >8% dan menambah beban negara. Lalu bagaimanakah kondisi masa depan ekonomi Indonesia jika kebijakan struktural/ reformasi pemerintah baru tidak mengambil langkah preventif?  Terlebih di tengah tekanan isu US tapering serta revolusi shale gas Amerika yang otomatis menurunkan harga komoditas dunia.

Menengok kondisi saat ini yang dapat dikatakan mengalami penurunan dibandingkan lima tahun lalu serta kekhawatiran akan kondisi masa depan membuat David Sumual berbicara mengenai perancangan sistematis pembangunan. Semenjak GBHN dihapuskan, negara Indonesia mengalami kebingungan arah pembangunan sebab saat ini Indonesia hanya bergantung pada RJP. Seharusnya Indonesia meniru negara China dan Korea yang telah membuat perencanaan negaranya hingga 20 tahun ke depan. Di negeri Korea, industri alat-alat berat dibangun sehingga akhirnya elektronik bisa berkembang. Korea juga membuat perencanaan melalui sosial budaya, yaitu budaya K-POP yang telah menyerbu negara lain hingga Jepang. Pada akhirnya budaya K-POP ini berpengaruh kepada ritel Korea (Cloth Mark).

Pada akhirnya kondisi keterpurukan Indonesia akibat tapering USA tersebut membawa dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia. David Sumual menyatakan bahwa tahun 2013 Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terburuk di Asia serta nomor 2 di dunia setelah Argentina dan Peso.


Langkah Kebijakan Ekonomi Indonesia Tahun 2014

Setelah sejenak kita menengok ke arah pembangunan ekonomi negara lain, sekarang kita lihat langkah kebijakan apa saja yang telah diambil oleh Indonesia sebagai langkah preventif untuk mengurangi defisit neraca berjalan pada tahun 2014. Semenjak Bapak Agus Marto Wardjoyo menjadi Gubernur BI pada tahun 2012 lalu, beliau menyimpulkan bahwa ekspor Indonesia bagaimanapun juga tidak akan dapat ditingkatkan karena hal tersebut di luar kendali Indonesia. Harga barang komoditas sangat terancam oleh prospektus revolusi shale gas di USA. Terlebih adanya larangan ekspor atas beberapa logam antara lain nikel dan bauksit, tentu saja membuat neraca perdagangan Indonesia semakin minus. Dari perhitungan didatkan bahwa pelarangan ekspor atas nikel dan bauksit itu sendiri menyumbang defisit sebesar 0,2%.

Oleh karena itu, jalan satu-satunya yang diambil oleh Gubernur BI adalah dengan menekan pola konsumsi masyarakat yang kebanyakan merupakan konsumsi barang-barang impor tersebut. Cara pertama adalah dengan menaikkan Pajak Penghasilan atas impor sebagaimana secara eksplisit telah terlihat pada PMK-175/PMK.011/2013, bahwa impor baik dengan API maupun tanpa API atas barang-barang tertentu (sebagian besar barang-barang konsumsi), tetap dikenakan tarif 7,5% (sebelumnya impor barang dengan API hanya dikenakan tarif 2,5%. Langkah kedua adalah dengan meningkatkan PPnBM atas impor barang-barang yang tergolong lux, misalnya gadget, smartphone, dsb. Langkah selanjutnya adalah dengan menurunkan nilai tukar Rupiah terhadap dollar. Saat ini Rupiah telah berkisar di antara level Rp11.000 hingga Rp12.000, padahal sebelumnya hanya berkisar pada level Rp8.500,-. Diperkirakan Rupiah akan terus ditekan hingga mencapai level Rp12.500 pada akhir semester kedua tahun 2014 ini dengan harapan pola konsumsi masyakat juga dapat ditekan. Kebijakan selanjutnya yang diluncurkan adalah penurunan jumlah kredit. Tahun lalu BI memberikan batasan kredit yang digelontorkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 25%. Akan tetapi pada tahun 2014 ini, BI menurunkan jumlah kredit yang dapat diberikan hanya sebesar 15%.

Terkait dengan adanya ancaman tapering USA, yield SUN Indonesia tertekan hingga mencapai level 8% ke arah 9%, padahal sebelumnya sempat mencapai angka 10-12%. Hal tersebut sebagian besar juga disebabkan oleh berkurangnya inflow modal akibat semakin ketatnya Quantitative Easing.

Kondisi cuaca yang tidak mendukung pada awal tahun 2014 ini juga mempengaruhi kondisi perekonomian negara Indonesia. Diperkirakan akibat meluasnya banjir, barang-barang konsumsi akan semakin langka sehingga akan terjadi inflasi sebesar 8,4%. Akan tetapi akan inflasi tersebut akan turun ke base 5%-6% pada bulan Juni ketika cuaca mulai membaik.

Faktor negatif lainnya adalah adanya aturan daftar negara yang boleh dan tidak boleh berinvestasi di Indonesia yang belum keluar membuat investor menjadi enggan untuk berinvestasi di Indonesia. Kemudian kebijakan LTV yang lebih memperketat penyaluran kredit untuk otomotif serta rumah kedua dst. membuat pertumbuhan sektor properti dan otomotif sedikit melamban. Adanya kesenjangan UMR antara daerah dengan Jakarta membuat banyaknya tenaga kerja yang berpindah memicu relokasi pabrik-pabrik di daerah. Pada akhirnya, tenaga kerja yang tidak berpindah akan mengalami kehilangan pekerjaan sehingga ancaman kredit macet properti akan meningkat akibat meningkatnya pengangguran.

Sebenarnya meskipun awal hingga pertengahan tahun 2014 ini ekonomi Indonesia akan mengalami sedikit masa-masa tidak stabil, setidaknya hal tersebut dapat tertolong oleh diselenggarakannya Pemilu 2014. Pemilu bisa menjadi katalis positif bagi konsumsi dalam negeri, produktivitas industri, tenaga kerja, serta membawa harapan baru bagi investor untuk kembali menanamkan modalnya di Indonesia sehingga efek negatif tapering dapat dihindari. 

Faktor-faktor positif lainnya yang juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah adanya sektor dollar earner misalnya konsumsi, transportasi, pariwisata. Selain itu daya beli masyarakat yang tinggi akibat meningkatnya UMR juga dapat menjadi stimulus untuk konsumsi dalam negeri. Kenaikan suku bunga pada level 8% akan menjadi daya tarik tersendiri bagi investor. Ditambah dengan wacana subsidi BBM yang tetap sehingga risiko fiskal tetap rendah juga dapat menambah rating Indonesia di mata investor.

Dengan menganalisis  kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah serta faktor-faktor positif dan negatifnya, analis ekonom Indonesia optimis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat 0,2% dari tahun 2013, yaitu menjadi 5,8% dari angka 5,6%.


Prospek Ekonomi Indonesia dan Industri Perbankan dari Segi Penerimaan Pajak

        Setelah memahami kondisi ekonomi global dengan isu tapering dan revolusi gas shale, outlook ekonomi Indonesia tahun 2014 serta langkah kebijakan yang diambil, dapat ditarik benang merah prospektus ekonomi Indonesia di tahun 2014 terhadap penerimaan pajak, khususnya di bidang perbankan.

    Berdasarkan pernyataan David Sumual, dengan melihat ancaman tapering yang mendorong outflow dari negara Indonesia serta adanya revolusi gas shale yang akan menurunkan harga komoditas, kemungkinan besar penerimaan pajak khususnya sektor industri perbankan terlebih pertambangan akan mengalami penurunan dari segi pertumbuhan. Nominal akan naik, namun growth-nya akan turun. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa poin berikut:

  1. Kebijakan BI menurunkan batasan kredit dari 25% menjadi 15% akan membuat pertumbuhan laba perbankan di Indonesia juga turut mengalami penurunan.
  2. Mata uang Rupiah yang tertekan terhadap dollar hingga level Rp12.500,00 pada tahun 2014 akan mempengaruhi nilai ekspor Indonesia. Indonesia harus menerima risiko untuk mengekspor lebih banyak daripada tahun lalu dengan imbalan nilai ekspor yang sama akibat melemahnya rupiah pada kuartal pertama dan kedua.
  3. Harga komoditas yang rendah akibat revolusi gas shale akan berdampak pada laba pengekspor sehingga penerimaan pajak dari sektor pertambangan juga akan mengalami penurunan. Kisaran harga minyak mentah masih berada di bawah USD 110, batu bara antara USD 80-USD 87, emas antara USD 1170-USD 1242 /oz.
  4. Penurunan investasi asing akibat adanya kebijakan tapering yang mengurangi inflow modal. Ditambah dengan makin besarnya tekanan BI dan OJK untuk membatasi kepemilikan asing di perbankan.
  5. Saham-saham unggulan dari sektor pertambangan sempat terpukul karena Global Risk Aversion.
  6. Adanya aturan mengenai larangan ekspor nikel dan bauksit serta ketidakpastian regulasi di sektor pertambangan migas, misalnya pelarangan ekspor mineral mentah.
  7. Adanya bencana dan ketidakpastian cuaca pada awal tahun yang mengakibatkan melemahnya aktivitas perekonomian dan menimbulkan gangguan logistik.
  8. Suku bunga BI Rate naik menjadi 8% sehingga menyebabkan bagi hasil/bunga juga meningkat. Bagi pihak bank, kenaikan BI rate selain menambah keuntungan juga dapat menambah beban atas investasi dari investor.
  9. Adanya kebijakan LTV yang memperketat aturan kredit untuk properti dan otomotif sehingga selain menurunkan laba perbankan, juga memperlambat pertumbuhan laba sektor properti dan otomotif.
  10. Rendahnya PDB Indonesia untuk tahun 2013 hingga tahun 2014 yaitu masih di bawah 6%. Dengan demikian jelas terlihat bahwa penerimaan pajak pun pertumbuhannya tidak akan terlalu baik.
Meskipun kesepuluh poin tersebut telah diungkapkan secara terbuka oleh David Sumual dan Fauzi Ichsan mengenai prospektus penerimaan pajak di Indonesia untuk tahun 2014, bukan berarti justru menimbulkan sikap skeptis dan pesimis bagi DJP. Justru gambaran nyata kondisi perekonomian indonesia tersebut dapat dijadikan analisis dan upaya preventif agar DJP melakukan upaya lebih demi mencapai penerimaan negara. Misalnya penggalian dari sektor industri konsumsi. Menurut beliau, sektor konsumsi akan mengalami peningkatan pesat dikarenakan UMR yang meningkat serta adanya pertumbuhan penduduk.

Fauzi Ichsan juga yakin bahwa industri perbankan merupakan industri yang lucrative dan masih tersimpan potensi yang sangat tinggi. Di antaranya rasio kredit perbankan terhadap PDB nomial Indonesia yang masih berkisar pada angka 32% pada tahun 2012, sementara China telah mencapai level 157%. Artinya Indonesia masih memiliki ruang untuk tumbuh karena ekonomi Indonesia masih tergolong under-levered. Selain itu, peranan bursa saham di Indonesia juga masih terbatas yaitu sebesar 49% pada tahun 2012 dibandingkan Singapura yang telah mencapai level 224%. Akan tetapi angka tersebut terkoreksi karena adanya kenaikan BI Rate.

Adanya Pemilu pada tahun 2014 tentu saja membawa angin segar bagi perekonomian Indonesia dan penerimaan pajak. Pemilu tahun 2014 akan menggerakkan berbagai sektor serta menumbuhkan kembali kepercayaan investor. Pada akhirnya semester 2 tahun 2014, perekonomian Indonesia diprediksi akan kembali stabil.

Persiapkan DJP dalam menghadapi tantangan ekonomi global 2014
Dengan demikian, melihat ketidakpastian kondisi perekonomian Indonesia pada tahun 2014 ini,  sekali lagi upaya lebih dan strategi diperlukan oleh DJP agar target penerimaan pajak sebesar +/- 1010 triliun dapat tercapai. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar