Senin, 19 Desember 2011

Dua Seuntai Perpajakan -Reformasi Aturan Perpajakan & Idealisme Fiskus-

BAB I

PENDAHULUAN


Tulisan ini adalah hanyalah pemikiran penulis sebagai seorang mahasiswi yang berpendapat bahwa idealisme fiskus harus didukung oleh reformasi peraturan perpajakan agar dapat mewujudkan perbaikan sistem perpajakan yang menyeluruh.


A. Latar Belakang Masalah
     Reformasi perpajakan telah digalakkan pemerintah sebanyak empat kali, yaitu dimulai pada tahun 1983 yang ditandai dengan perombakan berbagai jenis ordonansi perpajakan menjadi pajak-pajak yang telah kita kenal saat ini, antara lain PPh, PPN, PBB, dsb. Selain perombakan berbagai jenis pajak, ketentuan perpajakan pun turut mengalami perubahan besar-besaran, yaitu dengan diundangkannya UU No.6 tahun 1983, UU No. 7 tahun 1983, dan UU No. 8 tahun 1983. Pada tahun 1994, diadakan reformasi perpajakan yang kedua, yaitu ditandai dengan diundangkannya satu paket perubahan UU tahun 1983, antara lain UU No. 9 tahun 1994, UU No. 10 tahun 1994, UU No. 11 tahun 1994, dan UU No. 12 tahun 1994. Reformasi perpajakan yang ketiga adalah tahun 1997 yang ditandai dengan munculnya UU No.17 tahun 1997, UU No.19 tahun 1997, UU No. 20 tahun 1997, dan UU No. 21 tahun 1997. Reformasi yang keempat dilakukan pada tahun 2008 – 2009 yang ditandai dengan munculnya UU No. 36 tahun 2008, UU No. 16 tahun 2009, dan UU No. 42 tahun 2009.
     Seiring adanya perubahan paket undang-undang perpajakan tersebut, tentu saja diiringi dengan adanya perubahan peraturan pelaksanaannya, mulai dari PP, PMK, Perdirjen, sampai dengan SE. Peraturan pelaksanaan perpajakan tentu saja selalu mengalami perbaikan dalam setiap perubahannya. Perbaikan tersebut antara lain berkaitan dengan pemenuhan hak dan kewajiban WP, perbaikan celah-celah ketentuan sehingga mampu meningkatkan penerimaan negara, serta perbaikan ketentuan yang dapat mengurangi adanya taktik permainan antara pegawai pajak dengan wajib pajak. 

     Seperti kita ketahui bersama bahwa pegawai pajak sering melakukan kontak dengan 
wajib pajak. Kontak tersebut bisa dilakukan antara wajib pajak dengan fiskus mulai dari penyampaian SPT, konsultasi, pemeriksaan, keberatan, sampai dengan banding. Hal ini mengakibatkan terbukanya peluang bagi wajib pajak untuk meminimalkan pajak yang dibayar ke kas negara dengan memanfaatkan pegawai yang tidak idealis dan tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Wajib pajak cukup memberikan uang suap kepada pegawai pajak jika ingin meminimalkan pajak yang dibayar. Bisa dibayangkan, misalnya utang pajak adalah 100 Milyar, hanya dengan memberi uang suap kepada pegawai pajak sebesar 10 Milyar, wajib pajak akhirnya hanya diwajibkan membayar 50 Milyar. Bagi wajib pajak, penghematan sebesar 40 Milyar tersebut tentu saja sangat material. Begitu pula bagi pegawai pajak, pegawai pajak mana yang tidak tergiur dengan uang 10 Milyar yang setara dengan 2000 kali gaji seorang pegawai Depkeu golongan IIC tesebut. Dari gambaran masalah tersebut, bisa dikatakan bahwa antara pegawai pajak dan wajib pajak dengan prinsip suka sama suka, samasama mencari celah ketentuan perpajakan baik secara legal maupun illegal untuk memperkaya diri mereka sendiri.
     Kegiatan tersebut diatas dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi. Tindakan ini tentu saja akan membawa dampak sistemik bagi perekonomian negara. Pertama-tama, permainan wajib pajak dengan fiskus akan mengakibatkan semakin sedikitnya pajak yang disetor ke kas negara sehingga akan menurunkan target penerimaan negara. Jika target penerimaan negara menurun, maka pembiayaan untuk sektor-sektor yang lain pun tidak akan mencukupi, misalnya, kenaikan gaji PNS tidak mampu dipenuhi, anggaran pendidikan berkurang, infrastruktur tidak dapat diperbaiki, dsb. Jika hal tersebut terjadi, wajib pajak yang telah dengan benar membayar pajaknya akan merasakan bahwa tidak ada kontra prestasi secara tidak langsung yang diterimanya sebagai akibat dari pajak yang dibayarnya. Pada akhirnya kepercayaan masyarakat akan menurun dan siklus di atas akan terulang kembali sampai kepada titik keterpurukan ekonomi negara yang paling rendah.
     Berdasarkan masalah di atas, reformasi perpajakan dan idealisme pegawai pajak yang merupakan kunci dan pondasi penerimaan negara akan menjadi sangat menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penulis termotivasi untuk menganalisis keterkaitan antara reformasi perpajakan, khususnya dalam bidang ketentuan perpajakan dengan peningkatan idealisme seorang pegawai pajak. Judul yang diangkat penulis adalah “Dua Seuntai Perpajakan –Reformasi Aturan Perpajakan & Idealisme Fiskus-”. Judul tersebut menggambarkan bahwa kedua hal di atas adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam rangka memenuhi misi Direktorat Jenderal Pajak, yaitu memenuhi target penerimaan negara. Selain itu, perbaikan ketentuan perpajakan yang terus menerus, diharapkan mampu membantu pegawai pajak dalam mempertahankan idealismenya dan mengurangi celah permainan antara pegawai pajak dengan wajib pajak.

B. Ruang Lingkup dan Pembatasan Masalah
     Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis memilih sebuah masalah mengenai peran reformasi perpajakan dalam rangka peningkatan idealisme pegawai pajak. Namun, untuk mempersempit ruang lingkup pembahasan masalah, penulis membatasi ruang lingkup tersebut menjadi analisis keterkaitan antara reformasi ketentuan peraturan perpajakan dengan peningkatan idealisme pegawai pajak . Oleh karena itu, penulis mengangkat sebuah judul yaitu “Dua Seuntai Perpajakan –Reformasi Aturan Perpajakan & Idealisme Fiskus-”
Hal-hal yang akan dibahas dalam paper ini adalah:
1. keterkaitan reformasi aturan perpajakan dengan peningkatan idealisme pegawai pajak
2. celah-celah aturan perpajakan yang masih mampu dimanfaatkan oleh wajib pajak dan pegawai pajak
3. saran dan masukan sebagai perbaikan reformasi aturan perpajakan untuk tahun ke depan
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
     Tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan paper ini adalah:
1. menambah wawasan tentang keterkaitan antara reformasi aturan perpajakan dengan peningkatan idealisme pegawai pajak
2. mengetahui celah-celah aturan perpajakan yang masih dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak dan pegawai pajak 3. meningkatkan motivasi dan kesadaran untuk mereformasi diri sendiri dalam rangka meningkatkan idealisme dan profesionalitas sebagai seorang pegawai pajak
4. memberikan sumbangsih pemikiran kritis dalam rangka perbaikan ketentuan peraturan perpajakan yang ada untuk tahun-tahun kedepan
D. Metode Penelitian
     Penulis menggunakan metode ekspositoris - argumentatif dalam penulisan paper ini dengan memaparkan aturan-aturan perpajakan yang ada dan berkaitan dengan peningkatan idealisme pegawai pajak serta analisis tentang kelebihan dan kekurangan dari aturan-aturan tersebut.
     Teknik yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah diskusi kritis dan kajian pustaka terhadap berbagai referensi yang membahas mengenai keterkaitan antara reformasi perpajakan dengan peningkatan idealisme pegawai pajak.

BAB II
PEMBAHASAN
    Uraian yang ada dalam bab I adalah uraian mengenai maraknya permainan antara wajib pajak dan fiskus yang sering terjadi dalam praktik perpajakan. Dengan adanya reformasi di bidang peraturan perpajakan, diharapkan ada momentum positif untuk meningkatkan idealisme para pegawai pajak. Oleh karena itu, melalui pembahasan pada bab II ini penulis mencoba memaparkan mengenai eratnya keterkaitan antara reformasi di bidang aturan perpajakan dengan idealisme para pegawai pajak yang bagaikan dua seuntai perpajakan.
A. Dua Seuntai Perpajakan -Reformasi Aturan Perpajakan sebagai Pendukung Idealisme Fiskus- 
     Seperti telah dipaparkan pada bagian pendahuluan, reformasi di bidang perpajakan diwujudkan dengan munculnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang diikuti dengan munculnya berbagai peraturan pelaksanaannya. Setiap perubahan pasal-pasal yang ada, pemerintah selalu mengupayakan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik dalam segi pemenuhan hak dan kewajiban wajib pajak, peningkatan pelayanan kepada wajib pajak, minimalisasi adanya celah-celah perpajakan, serta mengurangi terjadinya permainan antara wajib pajak dengan fiskus. Sebelum dibahas lebih lanjut mengenai keterkaitan antara reformasi aturan perpajakan dengan idealisme fiskus, ada baiknya dijelaskan mengenai definisi reformasi perpajakan dan idealisme pegawai pajak.

    Reformasi berarti perubahan yang mendasar. Dirjen Pajak menyatakan ada dua hal penting yang harus dilaksanakan pemerintah dalam reformasi perpajakan. Pertama, pembenahan administrasi dan kebijakan di bidang perpajakan. Kedua, menumbuhkan kepatuhan wajib pajak dengan mengubah persepsi masyarakat terhadap pajak.
1.
Pengertian tersebut menegaskan bahwa tugas reformasi perpajakan adalah perombakan peraturan perpajakan kearah yang lebih tegas namun tetap memenuhi asasasas perpajakan dan mampu menumbuhkan kepercayaan wajib pajak.
      Sementara itu, idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa (Plato). Jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal yang bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik.  Dengan demikian, yang dimaksud dengan idealisme pegawai pajak adalah sebuah paham dan pandangan yang menekankan pada aturan dan kebijakan yang ada tanpa berupaya mengambil keuntungan materi untuk memperkaya diri sendiri serta merugikan keuangan negara.
     Dari kedua definisi tersebut, terlihat dengan jelas bahwa reformasi aturan perpajakan sangat berkaitan dengan idealisme fiskus. Aturan perpajakan yang tegas, jelas, memerhatikan hak dan kewajiban wajib pajak serta menjunjung keempat prinsip perpajakan Adam Smith, yaitu keadilan, efektivitas dan efisiensi, kenyamanan, dan kepastian hukum akan mampu mengarahkan para punggawa pajak untuk menjalankan tugasnya dengan profesionalisme tinggi demi mencapai tujuan penerimaan negara tanpa mencederai hak-hak wajib pajak.
     Namun, masalah yang sering terjadi adalah adanya konflik kepentingan antara wajib pajak, pegawai pajak, atasan pegawai pajak, para pembuat kebijakan dan kebijakan perpajakan itu sendiri. Wajib pajak menginginkan untuk membayar pajak sekecil-kecilnya dengan berbagai cara, yaitu memanfaatkan celah-celah ketentuan perpajakan baik secara legal maupun illegal serta memanfaatkan pegawai pajak yang tidak idealis dan profesional
dalam menjalankan tugasnya untuk membantu mengurangi pajak terutang mereka.
     Kesempatan bermain bagi wajib pajak nakal ini bisa terjadi di setiap tahapan berikut. a. Saat penyampaian SPT yaitu dengan melaporkan penghasilan dan kekayaan yang ada seminimum mungkin sehingga diharapkan pajak terutang akan semakin kecil
b. Saat AR melakukan himbauan kepada wajib pajak dalam hal AR menemukan adanya indikasi SPT tidak benar.     Pada tahapan ini, wajib pajak akan berusaha sebisa mungkin untuk mengusahakan agar AR membuat kondisi sehingga wajib pajak tidak termasuk dalam wajib pajak yang perlu diperiksa berdasarkan analisis resiko kepatuhan bottom up. Dengan memberikan amplop kepada AR, wajib pajak berharap AR akan mampu membuat permainan agar wajib pajak tidak termasuk dalam daftar nominatif yang akan dilakukan usulan pemeriksaan oleh fungsional pemeriksa pajak. Terlebih lagi, jika kepala seksi waskon yang tidak idealis pun turut serta dalam permainan tersebut sehingga akan semakin mempermudah wajib pajak untuk lolos dari pemeriksaan.
c. Saat dilakukan pemeriksaan oleh fungsional pemeriksa pajak. 
     Tahapan ini merupakan tahapan yang paling besar
 kemungkinannya bagi wajib pajak untuk bekerja sama dengan petugas pajak demi meminimalkan penemuan objek pajak melalui cara yang illegal dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan. Adanya pembahasan akhir hasil pemeriksaan memberikan kesempatan leluasa bagi wajib pajak untuk melakukan koordinasi licik dengan petugas pajak sehingga ketetapan pajak yang diterbitkan pada akhirnya tidak akan sesuai dengan kondisi sesungguhnya.
d. Saat wajib pajak mengajukan upaya keberatan.
     Pada tahapan ini, wajib pajak 
akan menyuap penelaah keberatan agar mengabulkan surat permohonan keberatannya. Kasus yang hangat terjadi pada tahun 2010 kemarin dan merupakan 
pelajaran berharga bagi DJP adalah kasus dikabulkannya keberatan atas SKPKB PPN Pasal 16 D PT Surya Alam Tunggal atas pajak terutang sebesar Rp609.211.071. Pihak yang terlibat dalam kasus tersebut adalah Gayus Tambunan sebagai pelaksana, Humala S.L. Napitupulu sebagai pelaksana penelaah keberatan, Johny Marihot Tobing selaku Kasubdit, dan Bambang Heru Ismiarso selaku Direktur Keberatan Banding. Dalam kasus tersebut, SK Keberatan mengabulkan permohonan keberatan PT SAT sehingga pada akhirnya menyeret keempat pihak tersebut ke dalam jeruji besi.
e. Saat wajib pajak mengajukan banding di pengadilan pajak.
     Putusan banding 
merupakan putusan yang bersifat final dan hanya dapat diajukan peninjauan kembali dalam kondisi-kondisi tertentu sesuai pasal 91 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, pada tahapan ini wajib pajak akan berupaya sekeras mungkin supaya bandingnya dapat dikabulkan. Terlebih lagi sanksi administrasi yang harus ditanggung wajib pajak jika putusan banding menolak permohonan banding wajib pajak adalah sangat besar, yaitu 100%. Taktik permainan pun dijalankan dengan kencang oleh wajib pajak, misalnya 
saja mencari makelar seorang pegawai pajak yang akan menghubungkannya dengan para pihak pengadilan pajak, yaitu hakim, sekretaris, dan panitera. Wajib pajak tanpa enggan menyuap petugas pajak yang ada agar mengatur dialog selama sidang berlangsung sehingga seolah-olah argumen pihak DJP saat sidang adalah lemah dan dapat dengan mudah dipatahkan oleh wajib pajak ataupun oleh hakim. Sebuah pelajaran berharga dapat kita ambil dari kasus Gayus Tambunan. Pengalamannya sebagai seorang makelar pajak dalam menghubungkan antara “klien” dengan para pihak di pengadilan pajak pada saat banding telah menyeretGayus kedalam jurang kenistaan.   
   Dari paparan di atas, jelas terlihat bahwa di setiap waktu, tahapan, dan kesempatan, 
wajib pajak selalu dapat memainkan uangnya untuk menyuap para pegawai pajak yang tidak memiliki idealisme sejati sebagai seorang pegawai pajak. Sebagai seorang manusia biasa, seorang pegawai pajak kadang-kadang diuji dengan kesusahan hidup, misalnya keluarga yang sakit keras, kebutuhan yang tidak terduga dalam jumlah besar, dan inflasi yang mengakibatkan kebutuhan hidup tidak terpenuhi, sebuah idealisme yang ditanamkan selama mereka duduk di bangku kuliah tidak akan mencukupi sebagai bekal mereka dalam menghadapi berbagai tawaran menggiurkan dari wajib pajak. Dalam kondisi terjepit, uang suap yang ditawarkan oleh wajib pajak dapat diumpamakan “Tak ada rotan, akar pun jadi.” Sah atau tidaknya uang tersebut menjadi urusan belakangan bagi pegawai pajak.
     Selain kondisi di atas, perilaku rakus dan konsumtif para pegawai pajak yang tamak pun menjadi salah satu faktor dominan dalam tindak pidana korupsi tersebut. Sulit sekali bagi mereka yang sudah terbiasa hidup bermewah-mewahan untuk kembali ke jalan yang lurus dengan menghindari uang korupsi. Uang dari wajib pajak yang jumlahnya jauh lebih besar dari gaji dan tunjangan mereka sepertinya membuat para pegawai pajak terlena dalam kemewahan serta melupakan tujuan mulia mereka sebagai seorang pegawai pajak yang idealis dan professional. Kondisi lingkungan yang kerja yang “kondusif” untuk melakukan korupsi pun menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam meruntuhkan idealisme seorang pegawai pajak. Kepala seksi yang tidak lurus membawa pengaruh yang sangat dominan bagi para bawahannya untuk bergotong royong menerima “uang balas jasa dari klien”. Sering ada orang mengumpamakan hal tersebut dengan kata-kata berikut “Jika orang waras berada di antara kumpulan orang gila, maka orang waras itulah yang akan dianggap gila oleh kumpulannya.” Pada akhirnya orang yang memang sangat idealis untuk tidak mau membantu wajib pajak yang menyimpang atau tidak mau menerima sepeser pun pemberian dari wajib pajak akan dianggap tidak mematuhi perintah atasan sehingga akibatnya dia harus dimutasi ke tempat lain dan akan menghambat pencapaian karir pegawai tersebut. Alangkah disayangkan,bibit-bibit potensial dari para pemuda harapan bangsa yang idealis tersebut harus dimatikan dengan cara-cara demikian halusnya. Pada akhirnya, yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin, dan adakah diantara kita yang ingin selalu terpuruk dalam kemiskinan?

     Berdasarkan argumen tersebut, sekali lagi penulis tegaskan bahwa idealisme yang telah kita tanam selama kita mengenyam bangku kuliah tidak akan cukup menjadi bekal bagi kita dalam menghadapi kondisi kejam dan penuh celah yang terjadi dalam dunia nyata. Oleh karena itu, dalam mendukung sebuah idealisme seorang pegawai pajak, yang diperlukan disini adalah reformasi perpajakan. Reformasi perpajakan baik dari segi sistem administrasi perpajakan dan kebijakan peraturan perpajakan. Kebijakan aturan perpajakan yang tegas, jelas, serta memberi kepastian hukum akan memegang peran penting disini dan akan membantu membangun kembali idealisme seorang pegawai pajak dalam menjalankan tugasnya. Sementara, sistem administrasi hanya akan menjadi pendukung kebijakan serta hanya akan mengikuti alur kebijakan tersebut. Pernyataan penulis tersebut telah sesuai dengan judul paper ini, “Dua Seuntai Perpajakan – Reformasi Aturan Perpajakan & Idealisme Fiskus-“, kedua hal yang tidak akan dapat dipisahkan dalam pencapaian visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak.    
     Kelima tahapan permainan wajib pajak yang telah dipaparkan di atas, saat ini telah 
diatasi melalui reformasi aturan perpajakan. Berikut ini aturan-aturan perpajakan yang menurut penulis telah mampu membangun kembali sebuah idealisme pegawai pajak dan mengurangi praktik permainan antara wajib pajak dengan petugas pajak.
a. Reformasi Aturan Perpajakan dalam rangka Penyampaian SPT Wajib Pajak.
     Hal ini diatur dalam pasal 3 ayat 1 UU No. 6 tahun 1983 stdt UU No. 16 tahun 2009 jo. Pasal 3 ayat 7 UU No. 6 tahun 1983 stdt UU No. 16 tahun 2009 jo. Pasal 3 ayat (7a) UU No. 6 tahun 1983 stdt UU No. 16 tahun 2009.  
Pasal tersebut menyatakan bahwa “Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas….”. Kata-kata “benar, lengkap, dan jelas” ini baru ada pada UU No. 28 tahun 2007. Hal ini menegaskan bahwa SPT Wajib Pajak yang disampaikan secara self assesement hendaknya memenuhi ketiga kriteria pokok tersebut tanpa memanipulasi laporan keuangan yang ada sehingga pajak yang terutang akan menjadi lebih kecil dari seharusnya. Kemudian, pada pasal 3 ayat (7a), ditegaskan bahwa dalam hal SPT yang yang disampaikan wajib pajak tidak dilampiri keterangan atau dokumen yang memperkuat kebenaran material isi SPT, dianggap wajib pajak tidak menyampaikan SPT. Jika WP masih menyampaikan SPT dengan tidak benar,lengkap, atau jelas, maka WP dapat diancam hukuman pidana pasal 39 ayat 1 UU KUP , yaitu penjara 6 bulan atau maksimal 2 tahun dan denda 2 kali atau maksimal 4 kali. Pada UU No. 16 tahun 2000 hanya diatur batasan maksimal tanpa mengatur batasan minimal sehingga wajib pajak bisa saja hanya dihukum pidana selama 1 bulan atau 2 bulan dan tentu saja tidak akan menimbulkan detterant effect bagi wajib pajak lainnya. Perubahan aturan ini tentu saja membuat wajib pajak harus berpikir dua kali untuk memanipulasi data yang ada sehingga SPTnya menjadi tidak benar, tidak lengkap, dan tidak jelas. 
     Kemudian dalam KMK No. 536/KMK.04/2000 jo. KMK No. 
82/KMK.03/2003 jo. KEP 215/PJ/2001 jo. PER 19/PJ/2009 jo. PER 1/PJ/2010 dijelaskan secara tegas tentang bagaimana prosedur standar seorang petugas pajak di seksi pelayanan dalam menerima SPT yang disampaikan WP. Hal yang paling penting digarisbawahi dalam aturan ini adalah bahwa SPT yang tidak dilampiri dengan dokumen yang lengkap (dalam arti ada indikasi WP menyembunyikan data penghasilannya) tidak boleh diterima oleh petugas pajak di Seksi Pelayanan. Hal penting berikutnya yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah SPT harus dilanjutkan ke AR untuk diteliti. Dalam hal ada indikasi SPT tidak benar secara material, AR akan melakukan himbauan kepada wajib pajak. Dengan adanya aturan tersebut, wajib pajak tidak dapat bertemu secara langsung dengan AR sehingga tidak akan ada kemungkinan bagi WP supaya meminta AR untuk meloloskan SPTnya. Hal tersebut disebabkan SPT akan diteruskan secara langsung oleh pelaksana seksi pelayanan dan direkam oleh pelaksana seksi PDI dan baru dilanjutkan kepada AR untuk diteliti kebenaran materialnya. Celah permainan antara wajib pajak dengan petugas pajak (dalam hal ini seksi PDI dan AR) akan dapat diminimalisasi karena Wajib Pajak tidak berkontak langsung dengan petugas pajak. 
     Kemungkinan terburuk yang terjadi adalah wajib pajak akan menyuap 
petugas seksi pelayanan untuk menerima SPTnya walaupun tidak lengkap, kemudian menelpon AR untuk tidak mengeluarkan surat himbauan. Namun, jika hal tersebut dilakukan oleh petugas seksi pelayanan dan AR, mereka akan dikenakan sanksi disiplin PNS karena melanggar kode etik pegawai DJP sesuai PMK 01/PMK.03/2007 dan PP 53 tahun 2010.
b. Reformasi Aturan Perpajakan dalam rangka Pengajuan Usul Pemeriksaan melalui Analisis Risiko
     Melalui PMK 199/PMK.03/2007 jo. PMK 82/PMK/03/2011 jo. PER 19/PJ/2008 jo. PER 20/PJ/2008 jo. SE 10/PJ/2008, diatur ketentuan bahwa usulan pemeriksaan dapat dilakukan melalui analisis resiko bottom up atau top down. Seksi-seksi terkait yang dapat mengajukan usulan pemeriksaan adalah seksi Waskon, Seksi Pelayanan, Seksi Penagihan dan Seksi Ekstensifikasi. Selain itu, terdapat juga ketentuan mengenai usulan pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan kriteria seleksi berdasarkan sistem komputerisasi yang sebenarnya telah ada sejak munculnya SE04/PJ.7/2000 seiring dengan dirintisnya Sistem Informasi Perpajakan yang menggantikan NPCS dalam sistem administrasi perpajakan di DJP. Dengan adanya reformasi aturan tentang pengajuan usulan pemeriksaan tersebut yang selalu diperbaiki dari waktu ke waktu , akan sulit bagi wajib pajak untuk mengelak dari pemeriksaan yang akan dilakukan terhadapnya. Meskipun wajib pajak berniat menyuap AR untuk tidak dilakukan usulan pemeriksaan, wajib pajak harus merelakan bahwa seksi lain pun juga memiliki data mengenai ketidakbenaran SPT tersebut dan sistem komputerisasi pun dapat mendeteksi secara langsung mengenai adanya indikasi penyimpangan wajib pajak. Dengan adanya ketentuan tersebut, sistem check and balance antar seksi akan bisa terjaga sehingga idealisme pegawai pajak pun akan turut terjaga. Andaikata terjadi sebuah permainan, maka harus melibatkan seluruh seksi yang ada di KPP tersebut. Tentu saja hal ini akan sangat merepotkan bagi petugas pajak yang ingin curang.
c. Reformasi Aturan Perpajakan dalam rangka Pemeriksaan Pajak 
     Ketentuan mengenai pemeriksaan pajak diatur dalam PMK 199/PMK.03/2007 jo. PMK 82/PMK/03/2011 jo. PER 19/PJ/2008 jo. PER 20/PJ/2008 jo. SE 10/PJ/2008, diatur ketentuan bahwa pemeriksa pajak harus memenuhi standar pemeriksaan serta harus melaksaakan pemeriksaan sesuai dengan luas pemeriksaan (audit scope) dan didukung dengan temuan atau bukti yang memadai serta dasar hukum yang kuat. Selain itu, adanya mekanisme peer review akan mempersulit ruang gerak petugas pajak untuk bersikap tidak idealis dengan tidak melaporkan temuan pajak. Adanya sistem target penerimaan oleh KPP, sistem poin prestasi kerja akan menjadi motivasi tersendiri bagi pemeriksa untuk berusaha melaporkan temuan pemeriksaan meskipun wajib pajak menjanjikan uang suap jika pemeriksa berkenan untuk tidak melaporkan pemeriksaannya. Adanya PP 53 tahun 2010 serta UU TIPIKOR sendiri telah menjadi cambuk yang cukup ampuh dalam menghalangi petugas pemeriksa untuk menerima segala bentuk pemberian dari wajib pajak.

     Yang sering terjadi dalam praktik perpajakan adalah justru pemeriksa pajak 
bermain aman dengan sewenang-wenang menetapkan koreksi atas SPTwajib pajak supaya tidak dituding meloloskan wajib pajak demi memperkaya diri sendiri. Jika hal ini dilakukan tanpa dasar hukum dan temuan atau bukti yang kuat maka kemungkinan besar permohonan keberatan WP akan diterima saat proses keberatan dan DJP akan kalah saat sidang banding . Jika hal tersebut terjadi, negara pun harus mengeluarkan uang untuk mengembalikan pajak yang telah dibayar oleh wajib pajak ditambah dengan imbalan bunga. Pada akhirnya hal tersebut juga akan merugikan negara sehingga pemeriksa pun juga dapat terseret pasal yang sama yaitu memperkaya kelompok lain (dalam hal ini adalah wajib pajak).
     Oleh karena itu, dengan adanya tuntutan kebijakan-kebijakan perpajakan 
tersebut, seorang pemeriksa pajak harus memiliki idealisme tinggi terhadap segala ketentuan peraturan perundang-undangan demi menghindari adanya ancaman pidana yang akan menyeret mereka ke balik jeruji besi.
d. Reformasi Aturan Perpajakan dalam Permohonan Keberatan
     Tata cara permohonan dan penyelesaian keberatan diatur dalam pasal 25 s.d. pasal 26 UU No. 6 tahun 1983 stdt UU No. 16 tahun 2009 jo. PMK 194/PMK.03/2007 jo. PER 49/PJ/2009 jo. PER 52/PJ/2010. Hal baru yang menarik yang diatur berdasarkan UU No. 28 tahun 2007 adalah adanya pasal 26 ayat 4. Ayat ini menyatakan bahwa dokumen yang tidak diserahkan pada saat pemeriksaan kecuali masih berada di pihak ketiga tidak akan dipertimbangkan dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan. Selain itu, syarat-syarat keberatan telah mengemukakan bahwa Surat Keberatan baru dapat diterima jika surat keberatan mencantumkan alasan yang jelas dan dasar perhitungan menurut wajib pajak. Jika penelaah keberatan berniat nakal untuk meloloskan keberatan wajib pajak dengan alasan karena adanya “dokumen baru” yang direkayasa wajib pajak sedemikian rupa sehingga tidak diperoleh pemeriksa saat melakukan pemeriksaan, maka akan terulang tragedi seperti kasus PT Surya Alam Tunggal dimana penelaah keberatan (tim Gayus) mengabulkan keberatan PT SAT akibat adanya Akta Jual Beli no 8 dan 9 tahun 1995 yang baru diberikan saat pengajuan keberatan.

 Seperti kita ketahui, saat pemeriksa pajak melakukan pemeriksaan dan 
peminjaman dokumen, pemeriksa harus mencatat daftar dokumen yang dipinjam 
dari wajib pajak. Tidak akan ada celah bagi penelaah keberatan untuk mengada-ada bahwa dokumen tersebut sudah ada sejak pemeriksaan.
     Terlebih lagi, sejak adanya kasus PT SAT yang akhirnya menyeret Maruli, Gayus, Humala, Jhonny, dan Bambang ke balik jeruji besi serta memporakporandakan kehidupan ekonomi dan rumah tangga mereka, saat ini para
penelaah keberatan lebih memilih untuk bermain aman dengan cara menolak setiap permohonan keberatan wajib pajak. Tentu saja, hal tersebut akan merugikan wajib pajak yang memang benar-benar jujur karena haknya tidak dipenuhi oleh DJP. Sebagai seorang petugas pajak yang idealis, tidak memenuhi hak yang memang menjadi hak seorang wajib pajak juga merupakan sebuah kesalahan. Oleh karena itu, seorang penelaah keberatan harus sangat berhati-hati dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang penelaah keberatan yang tetap berpegang teguh pada ketentuan perpajakan namun tetap memerhatikan hak wajib pajak.
e. Reformasi Aturan Perpajakan dalam Permohonan Banding
     Banding diatur dalam UU No. 14 tahun 2002. Namun, ranah ini sudah diluar kewenangan Direktorat Jenderal Pajak. Kementrian Keuangan pun hanya bertanggungjawab atas pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan. Yang berhak melakukan reformasi atas pengadilan pajak (baik dari segi teknis dan birokrasi) adalah badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung.
Harus ada partisipasi dari berbagai pihak untuk melakukan pengawasan terhadap hakim, sekretaris dan panitera untuk tetap berpegang teguh pada idealisme mereka.

     Kemungkinan terburuk yang dilakukan petugas pajak disini adalah seperti 
yang dilakukan oleh Gayus Tambunan sebagai seorang makelar wajib pajak dalam menangani kasus-kasus banding. Namun, kemungkinan tersebut telah diminimalisasi dengan adanya ketentuan insentif dan imbalan prestasi bagi penelaah keberatan yang mampu memenangkan pihak DJP saat sidang banding. Selain itu, adanya ketentuan yang mengatur bahwa seorang pegawai pajak tidak boleh menjadi konsultan pajak telah mampu memberikan ketegasan hukum mengenai apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh seorang pegawai pajak.
6.Celah-Celah Idealisme Fiskus yang Dimanfaatkan Wajib Pajak
     Meskipun reformasi aturan perpajakan telah dibuat sedemikian rupa seperti yang telah dipaparkan pada penjelasan sebelumnya, wajib pajak masih saja mampu memanfaatkan celah-celah yang ada untuk membuat goyah idealisme seorang pegawai pajak. 

1. 
Tidak adanya unit pemeriksa yang independen dalam hal wajib pajak melakukan permohonan keberatan 
     Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa penelaah keberatan demi menjaga “idealisme” akan cenderung bermain aman dengan menolak setiap keberatan wajib pajak. Tapi bagaimanapun juga idealisme ini adalah salah karena dengan demikian pegawai pajak tidak mampu memenuhi hak wajib pajak dalam hal wajib pajak tersebut memang benar. Pegawai pajak cenderung merasa takut bahwa jika dia mengabulkan permohonan wajib pajak, maka dirinya akan terseret pidana. Jika setiap pegawai pajak berpikiran demikian, wajib pajak akan cenderung memiliki strategi untuk memanfaatkan aturan ini dengan cara mengajukan permohonan keberatan yang mengandung alasan yang sama lemahnya seperti saat melakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan merelakan keberatannya ditolak oleh DJP. Namun, wajib pajak saat mengajukan banding langsung mengungkapkan berbagai alasan kuat yang tidak pernah diungkap sebelumnya untuk mendukung permohonan bandingnya sebab wajib pajak tahu bahwa sidang banding dilakukan oleh pihak yang lebih independen (yaitu pengadilan pajak).
2. Tidak adanya ketentuan yang mengatur bahwa dokumen yang tidak diserahkan saat pemeriksaan tidak akan dipertimbangkan dalam banding.   Hal ini tidak sejalan dengan ketentuan dalam pasal 26 ayat 4 UU KUP yang menyatakan bahwa dokumen yang tidak diserahkan saat pemeriksaan tidak akan dipertimbangkan dalam proses keberatan. Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa idealismenya, seorang penelaah keberatan adalah cenderung bermain aman dengan menolak setiap keberatan wajib pajak. Mengetahui idealisme pegawai pajak tersebut, wajib pajak tidak kehabisan akal. Mereka cenderung akan menyembunyikan dokumen yang memang luput dari daftar permintaan pemeriksa pajak dan kemudian baru menyerahkannya saat banding sehingga saat banding itulah DJP akan dikalahkan.
     Hal ini lagi-lagi akan membuat bimbang seorang pegawai pajak karena dirinya 
yang merasa telah melaksanakan ketentuan peraturan perpajakan dengan sebenarbenarnya harus dipermainkan wajib pajak dengan cara demikian. Seringkali wajib pajak akan menyuguhkan uang suap serta memberikan ancaman kepada penelaah keberatan dengan menyodorkan dokumen-dokumen yang baru yang bersifat menentukan seandainya penelaah keberatan menolak keberatan wajib pajak.
     Dalam hal ini pegawai pajak akan berada dalam kondisi dilematis antara menolak keberatan wajib pajak atau meloloskan keberatan yang nyata-nyata memang benar secara material tersebut dengan pertimbangan tidak ingin pihak DJP kalah dalam sidang banding. Ditambah lagi dengan uang suap yang diberikan oleh wajib pajak. Seorang pegawai yang tidak idealis akan lebih memilih untuk meloloskan keberatan tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, jika dia mengabulkan keberatan wajib pajak, setidaknya dia akan memperoleh uang dari wajib pajak. Kedua,seandainya dia menolak keberatan wajib pajak yang nyata-nyata telah benar secara material tersebut (yang ditunjukkan dengan adanya dokumen baru yang menentukan) maka hampir dapat dipastikan jika diajukan banding, pihak DJP akan kalah serta dia penelaah keberatan yang menghadiri sidang tidak akan mendapat apa-apa, baik poin prestasi maupun uang dari wajib pajak.
3. Atasan (tidak) Selalu Benar dan Ambiguitas Pasal 36A UU KUP
  Berbicara tentang peraturan perpajakan yang telah disusun sedemikian rupa demi terwujudnya visi dan misi DJP, demi sebuah kepercayaan wajib pajak, dan demi peningkatan profesionalitas seorang pegawai pajak, ternyata masih terdapat masalah dilematis bagi seorang pegawai pajak. Salah satu pasal dalam UU KUP yaitu pasal 36 A ayat 5 UU KUP yang berbunyi sebagai berikut:
   Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.”
 Kemudian, dalam pasal 50 KUHP ditegaskan bahwa pegawai pajak dianggap mempunyai iktikad baik apabila menjalankan tugasnya sesuai perintah atasan dan tidakbermaksud untuk memperkaya diri sendiri atau memperkaya suatu kelompok. Sebelum adanya UU No. 28 tahun 2007, tidak ada pasal 36 A yang mengatur hal tersebut. Setelah munculnya pasal 36 A dalam UU No. 28 tahun 2007, sekilas memang terlihat adanya perlindungan yang memadai bagi pegawai pajak untuk tetap aman menjalankan segala perintah atasan sesuai ketentuan PP 53 tahun 2010, namun setelah munculnya kasus Humala, ternyata persepsi tersebut salah.

     Menengok kembali kasus Humala S.L Napitupulu yang dalam kacamata 
penulis merupakan korban atas kasus Gayus dalam penanganan kasus PT SAT. Humala bertindak sebagai pelaksana penelaah keberatan. Hidupnya sederhana, tidak bermewah-mewah dan dia menjalankan tugasnya secara professional sesuai dengan nota dinas percepatan permohonan keberatan wajib pajak.
     Kesalahan utama yang dilakukan adalah saat Humala tanpa tahu menahu ikut 
menandatangani persetujuan untuk mengabulkan surat permohonan wajib pajak karena perintah atasannya. Akibat kasus tersebut, saat ini Humala harus mendekam di balik jeruji besi dan kehidupan rumah tangganya hancur berantakan. Dalam kasus tersebut Humala sempat membuat surat eksepsi bahwa dirinya adalah korban yang tidak tahu menahu mengenai adanya permainan antara wajib pajak dengan tim penelaah keberatan. Bahkan, Humala juga membawa-bawa pasal 36A untuk dijadikan sebagai benteng perlindungan dirinya, namun tetap saja pengadilan tidak mengacuhkan pasal tersebut karena memang pada dasarnya pasal tersebut sangat ambigu serta tidak ada peraturan pelaksanaan yang mengaturnya. Dengan demikian, jika atasan salah, maka bawahan pun menjadi serba salah. Akankan mengikuti perintah atasan terlepas dari pengetahuan kita tentang benar atau tidaknya perintah atasan tersebut agar tidak melanggar PP 53 tahun 2010 mengenai kewajiban pegawai untuk mengikuti perintah atasan, ataukah akan melanggar perintah atasan karena pegawai pajak merasa bahwa perintah atasan tersebut menyimpang dan mengandung sebuah permainan kotor. Sebuah tantangan dan dilema bagi seorang pegawai pajak yang idealis untuk memilih antara kedua hal 
tersebut.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

     Idealisme pegawai pajak yang telah ditanamkan sejak bangku kuliah saja tidak
cukup dalam menghadapi berbagai permainan yang dilakukan oleh wajib pajak di dunia nyata. Oleh karena itu, reformasi aturan perpajakan memegang peran penting dalam menjaga idealisme seorang pegawai pajak agar tetap berada pada jalurnya. Penulis mengungkapkan bahwa dua seuntai perpajakan yang utama adalah reformasi aturan perpajakan dan idealisme pegawai pajak.
     Reformasi aturan perpajakan yang telah berlangsung empat kali tersebut terbukti secara nyata mampu meningkatkan idealisme pegawai pajak dan membantu mengurangi berbagai permainan nakal wajib pajak dan pegawai pajak. Reformasi aturan tersebut antara lain:
1. prosedur penyampaian SPT yang rapi dan menggunakan sistem yang terkomputerisasi sehingga mengurangi kontak wajib pajak dengan petugas pajak
2. prosedur usulan pemeriksaan berdasarkan analisis resiko dengan sistem terkomputerisasi dan adanya mekanisme check and balance antar seksi sehingga mengurangi permainan wajib pajak dengan AR untuk menghindari pemeriksaan pajak
3. adanya standar pemeriksaan, prosedur yang tegas serta mekanisme peer review yang akan mempersulit ruang gerak pegawai pajak untuk bermain-main di belakang dengan wajib pajak
4. adanya ketentuan tegas yang mengatur tentang syarat-syarat keberatan yang dapat diproses, prosedur penanganan surat permohonan keberatan, serta adanya kasus PT SAT yang akhirnya menyeret para pihak yang terlibat ke dalam penjara akan menjadikan para pegawai pajak semakin berhati-hati dalam mengabulkan permohonan keberatan wajib pajak
5. adanya ketentuan yang tegas dalam PP 53 tahun 2010, PMK 01/PMK.03/2007 serta sanksi bagi pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi menjadikan pegawai pajak harus berpikir dua kali untuk mengingkari idealismenya sebagai seorang pegawai pajak
B. SARAN
     Beberapa peraturan perpajakan yang kurang kuat berikut akan mampu menggoyahkan idealisme seorang pegawai pajak.
1. Tidak adanya unit pemeriksa independen membuat pegawai pajak lebih cenderung bermain aman dan melupakan hak wajib pajak atas permohonan keberatannya.    Hal ini dapat diatasi dengan membentuk unit pemeriksa keberatan yang lebih independen sehingga tidak ada kecenderungan untuk membela DJP atau wajib pajak
2. Tidak adanya ketentuan yang mengatur bahwa dokumen yang tidak diserahkan saat pemeriksaan tidak akan dipertimbangkan dalam banding sehingga mampu menyebabkan keraguan bagi penelaah keberatan untuk memutuskan apakah akan mengabulkan atau menolak permohonan wajib pajak .
     Hal ini dapat diatasi dengan merumuskan ketentuan baru dalam UU Pengadilan Pajak mengenai dokumen yang diserahkan pada saat banding tidak akan dipertimbangkan dalam banding 
3. Atasan yang tidak selalu benar dan ambiguitas pasal 36A UU KUP 
  mengaburkan perlindungan pidana bagi para pegawai pajak dalam menjalankan tugasnya dan menyebabkan kebimbangan pegawai pajak dalam memilih antara idealisme diri pribadi atau mengikuti perintah atasan.     Solusi dari masalah tersebut adalah dengan membuat aturan pelaksanaan yang lebih tegas tentang pasal 36A UU KUP serta mengkoordinasikan dengan ketentuan peraturan perundang-undagan lainya supaya pegawai pajak yang memang bersih dan idealis tidak akan terjebak dalam jurang pidana seperti yang dialami oleh Humala S.L. Napitupulu.    
    Dari paparan penulis di atas dapat dinyatakan bahwa reformasi aturan perpajakan 
memang memegang peran penting dalam meningkatkan idealisme pegawai pajak. Reformasi perpajakan dan idealisme pegawai pajak adalah dua seuntai yang tidak dapat dipisahkan dalam mencapai visi dan misi DJP serta mengantisipasi berbagai kelakuan nakal wajib pajak. Namun bagaimanapun juga, tidak ada gading yang tak retak. Setiap aturan perpajakan tersebut tentu saja masih memiliki kekurangan-kekurangan yang hendaknya harus dilakukan perbaikan terus menerus seiring dengan adanya reformasi kebijakan peraturan perpajakan.

DAFTAR PUSTAKA
1.Undang-Undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
2.Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
3. Peraturan Pemerintah No. 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
4. Keputusan Menteri Keuangan No. 536/KMK04/2000 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan.
5. Keputusan Menteri Keuangan No. 82/KMK.03/2003 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No. 536/KMK04/2000 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan.
6. Peraturan Menteri Keuangan No. 01/PMK.03/2007 tentang Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
7. Peraturan Menteri Keuangan No. 194/PMK03/2007 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan.
8. Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak
9. Peraturan Menteri Keuangan No. 82/KMK.03/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak
10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 19/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan.
11. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 1/PJ/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 19/PJ/2009 Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan.
12. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 4/PJ.7/2000 Tentang Kebijaksanaan Pemeriksaan Pajak Tahun 2000
13. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 10/PJ.4/2008 Tentang Kebijaksanaan Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
14. Anonim. (2010). Ayo Menghujat dgn Benar!!! (Siapa yang Belum Reformis, DJP, WP, atau Pengadilan Pajak). Diakses dari http://polhukam.kompasiana.com/2010/03/28/ayo-menghujat-dengan-benarsiapa- yang-belum-reformis-djp-wp-atau-pengadilan-pajak/ pada tanggal 30 Mei 2011 pukul 08.00
15. Anonim. (2010), Apa Sih Sasaran Reformasi Perpajakan? Diakses dari http://kppbalikpapan.tripod.com/kantorpelayananpajakbalikpapan/reformasi
pajak.html, pada tanggal 29 Mei 2011 pukul 13.00 16. Lorens Bagus. (2005). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.17. Murniningsih, Dwi. (2008). Upaya Memberantas Mafia Perpajakan di Indonesia. Diakses dari http://aguswaloyo.blogspot.com pada tanggal 30 Mei 2011 pukul 20.10.
18. Napitupulu, Humala S.L. (2010). Pengabdianku Diadili. Diakses dari http://berantasmafiapajak.wordpress.com/2010/11/15/eksepsi-humala/ pada tanggal 30 Mei 2011 pukul 20.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar