Senin, 19 Desember 2011

Kasus Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pengadilan Pajak, dan Kode Etik

Tulisan di bawah ini hanya berupa Opini Penulis Mengenai Sebuah Kasus yang tercantum tentang Surat Perintah Pemeriksaan Buper



PENDAHULUAN

Terhadap Wajib pajak dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan.  Akan diterbitkan surat ketetapan pajak dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan terhadap :          
1)   Wajib Pajak yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP atas kealpaan yang pertama kali diketahui oleh Direktur Jenderal Pajak.
2)     Wajib Pajak badan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (3) dan ayat (3a) Undang-Undang KUP, tetapi tidak ditemukan bukti permulaan bahwa Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. (PMK 202/PMK.03/2007)

Namun, dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, maka akan dilanjutkan dengan tindakan penyidikan (pasal 12 PMK 202/PMK.03/2007)

Dalam prosesnya, pemeriksa tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan prosedur, yaitu ada kesalahan dalam surat perintah bukti permulaan sehingga wajib pajak mengajukan gugatan atas Surat Perintah Bukti Permulaan tersebut. Sementara, atas prosedur pemeriksaan yang tidak sesuai dengan standar akan ditindaklanjuti olehKomite Kode Etik.

Hal yang terjadi adalah pemeriksaan bukti permulaan yang tidak sesuai prosedur tersebut dan  telah digugat oleh Penanggung Pajak ternyata tetap ditindaklanjuti dengan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang artinya masuk ke lingkup praperadilan. Sementara, penyidikan tersebut sudah termasuk ranah pidana dan bukan lagi diawasi oleh pengadilan pajak.

Dari gambaran umum tersebut, bisa ditarik beberapa masalah yang terjadi:

1.Apakah gugatan penanggung pajak bisa dilakukan terhadap Surat Perintah Bukti Permulaan?
2.Apakah Pemeriksaan Bukti permulaan yang sedang digugat, jika ditemukan indikasi tindak pidana di bidang perpajakan dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan?
OPINI PENULIS ATAS PERTANYAAN PERTAMA

      Sebelum membahas lebih jauh tentang penyelesaian masalah tersebut, ada baiknya ditinjau dulu beberapa peraturan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Berdasarkan UU No. 6 tahun 1983 juncto No. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum perpajakan pasal 1 angka 25,  26, dan 31
   25.Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.27.Pemeriksaan Bukti Permulaan adaLah pemeriksaan yang dilakukan untuk  mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.31.Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
     Kemudian, berdasarkan UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pasal 1 angka 4 dan 7:
 3.Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.7.Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Hal-hal yang dapat diajukan gugatan diatur dalam UU No. 6 tahun 1983 juncto No. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum perpajakan pasal 23 ayat 2
Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:a.pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakanselain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
d.penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
Sementara, keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan seperti yang dimaksud dalam pasal 25 ayat 1 dan pasal 26 adalah berkaitan dengan SKPKB, SKPKBT, SKPN, SKPLB, Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga serta SK Keberatan. Artinya SKPKB, SKPKBT, SKPN, SKPLB serta potput pihak 3 dan SKP Keberatan jika terdapat kesalahan material tidak dapat diajukan gugatan. SKPKB dan sejenisnya dapat dilakukan keberatan, sedangkan SK Keberatan dapat diajukan banding.  Hal ini ditegaskan dalam dalam UU No. 6 tahun 1983 juncto No. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum perpajakan pasal 25 dan pasal 26

Pasal 25(1)  Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;b.. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;d.Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; ataue.Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 26(1)    Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.Maksud dari referensi kata KEPUTUSAN YANG BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN KEPUTUSAN PERPAJAKAN diatas diatur dalam UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pasal 1 angka 4 dan 7:4.       Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
   Jika dianalogikan, penetapan tertulis di sini tidak hanya berhubungan dengan penetapan pajak  untuk penanggung pajak. Maksud penetapan tertulis dalam referensi ini adalah dalam pengertian yang lebih luas. Yaitu, penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
   Sebagai perbandingan dan bahan analogi, berikut ini ada makna keputusan yang lain yang diatur dalam PMK 06/PMK.01/2007 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut:
2.Keputusan Ketua Pengadilan Pajak adalah suatu penetapan tertulis yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Pajak mengenai pemberian izin menjadi kuasa hukum pada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan.
   Kemudian, sebelum beranjak ke hal selanjutnya, mari kita telaah  UU No.14 tahun 2002 pasal 8 ayat (4) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim adalah pejabat negara yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dibidang Sengketa Pajak.


Lalu apakah kekuasaan kehakiman di bidang sengketa pajak?
Hal ini diatur dalam pasal 31  (kekuasaan kehakiman) UU No. 14 tahun 2002:
Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.
Dari sini dapat dilihat bahwa Ketua, wakil ketua dan hakimberwenang untuk memutuskan sengketa pajak. Kemudian apakah hasil keluaran atau surat tertulis lain yang diterbitkan oleh ketua pengadilan pajak dapat dikatakan sebagai sebuah kputusan? Jawabannya ada di pasal 32  UU No. 14 tahun 2002:
(1)  Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pengadilan Pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.(2)  Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Ketua.
Ternyata pengawasan yang dimaksud di sini adalah kekuasaan ketua engadilan pajak untuk memberi izin seorang kuasa untuk menjadi seorang kuasa hukum.  Dari analogi tersebut, dapat disimpulkan sementara bahwa makna “keputusan” adalah segala penetapan tertulis yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dalam bidang perpajakan.   Dalam kamus besar bahasa Indonesia, keputusan adalah perihal yang berkaitan dengan putusan atau segala putusan yang telah ditetapkan setelah hal tersebut dipertimbangkan dan dipikirkan Di dalam ilmu perundang-undangan, keputusan adalah perihal putusan sebagai hasil tindakan pejabat yang berwenang dalam rangka menentukan atau menetapkan kebijakan tertentu yang diinginkan, termasuk mengangkat atau memberhentikan pejabat di lingkungannya. Keputusan untuk mengangkat atau memberhentikan pejabat di lingkungannya sering disebut dengan penetapan (beschikking)

Keputusan pejabat yang selama ini kita pahami terdiri atas 2 keluaran, yaitu keputusan yang berupa pengaturan dan keputusan yang berupa penetapan. (Prof. Dr. Hamim S. Attamimi)


Dilihat dari format dan isi atau substansi keduanya memang berbeda. Keputusan yang dikeluarkan pejabat tidak mengikat umum, tetapi mengikat individu atau kelompok tertentu di lingkungan pejabat yang mengeluarkan keputusan tersebut (itupun hanya berlaku sekali dan hanya saat itu saja)


Hal inilah yang mendasari sejak tahun 2007 Keputusan Menteri Keuangan berubah nama menjadi Peraturan Menteri Keuangan sedangkan Keputusan Dirjen Pajak berubah nama menjadi Peraturan Dirjen Pajak. Jika dikatakan keputusan menteri keuangan, maka segala pasal-pasal dalam Keputusan Menteri Keuangan hanya mengikat untuk individu atau kelompok tertentu dan hanya berlaku sekali saja. Sementara peraturan menteri keuangan menunjukkan bahwa pasal-pasal tersebut berlaku untuk umum dan tidak hanya berlaku sekali saja.


Sementara, bagaimana dengan sebuah surat perintah untuk melaksanakan sebuah tugas? Apakah bisa dianggap sebagai sebuah “keputusan” yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang?

Definisi dari Surat perintah bukti permulaan diatur dalam KEP 47/PJ/2009 pasal 1 angka 13
13. Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah surat perintah untuk melakukan pemeriksaan dalam        rangka mendapatkan Bukti Permulaan. (PER 47/PJ/2009)
Berikut ini sifat-sifat sebuah surat perintah pelaksanaan tugas bukti permulaan:
  1. mengikat individu atau sekelompok pejabat tertentu di bidang perpajakan   untuk melaksanakan sebuah tugas untuk melaksanakan bukti permulaan
  2.  hanya berlaku sekali saja
  3.  bersifat tertulis
  4. diterbitkan untuk satu atau beberapa atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak dalam suatu Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang sama atau untuk satu Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak terhadap satu Wajib Pajak
  5. memberikan kekuasaan atau menimbulkan tanggung jawab kepada yang diberikan sebuah keputusan, yaitu membebani seorang pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan.
Dari kelima kemiripan sifat antara surat perintah pemeriksaan bukti permulaan dengan  makna sebuah keputusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa surat perintah bukti permulaan adalah sebuah penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, maka dapat disimpulkan bahwa Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah sebuah KEPUTUSAN.  Sama halnya dengan surat perintah penyanderaan atau surat perintah pencegahan. Dengan demikian, atas surat perintah pemeriksaan bukti permulaan tersebut dapat diajukan gugatan.


OPINI PERTANYAAN KE DUA

Jika Penanggung pajak melakukan gugatan ke pengadilan pajak dengan mendasarkan pada UU No. 6 tahun 1983 juncto No. 16 tahun 2009 pasal 23 ayat 2 huruf c, apakah penyidikan tindak pidana dapat terus dilanjutkan meskipun telah ditemukan adanya tindak pidana di bidang perpajakan?
Sebelum masuk ke ranah penyidikan, berikut ditelaah terlebih dahulu antara gugatan dengan tindakan penagihan.
Berdasarkan pasal 43 UU No 14 tahun 2002 ayat 1 dan 2 dinyatakan sebagai berikut:
Pasal 43
(1)  Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan Pajak atau kewajiban perpajakan.
(2)  Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunda selama pemeriksaan Sengketa Pajak sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan Pajak.
Dalam memori penjelasannya dijelaskan bahwa selain tidak menunda atau menghalangi pelaksanaan penagihan, Gugatan tidak menunda atau menghalangi pelaksanaan kewajiban perpajakan penggugat.
Kemudian, berikut akan dijelaskan mengenai kapan dilakukan tindakan penyidikan:
Menurut PMK 202/PMK. 03/2007 pasal 12
Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan tindakan Penyidikan atau tindakan lainnya.         
Definisi dari pemeriksaan bukti permulaan sendiri menurut UU No. 6 tahun 1983 juncto No. 16 tahun 2009 pasal 1 angka 31 adalah sebagai berikut:
 31.  Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
Artinya, dalam hal terjadi indikasi adanya tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, maka tindakan penyidikan akan dilakukan. Sementara, jika tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana dalam pemeriksaan bukti permulaan, tidak akan dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.

Dalam kasus diatas, jika WP mengajukan gugatan terhadap Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan, maka dengan analogi pasal 43 yang menyatakan bahwa meski WP mengajukan gugatan, tindakan penagihan tetap dilaksanakan, begitu pula dengan kewajiban perpajakan lainnya.

Oleh karena itu menurut saya, atas gugatan terhadap Surat perintah pemeriksaan bukti permulaan tersebut, jika aparat menemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, maka tindakan penyidikan tetap dilaksanakan tanpa menunggu adanya putusan pengadilan pajak tentang gugatan penanggung pajak. Namun, dalam hal aparat tidak menemukan indikasi tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan buper, maka penyidikan tidak seharusnya dilakukan.

Namun, jika WP mengajukan gugatan atas surat pemeriksaan bukti permulaan , bisa dikatakan bahwa WP menolak untuk dilakukan pemeriksaan. Jika aparat tetap memaksa untuk dilakukan pemeriksaan buper untuk mengumpulkan bukti tindak pidana, artinya aparat tersebut telah melanggar salah satu pasal dalam KUHP kecuali jika aparat meminta bantuan kepolisian. Dengan demikian jika dilogika memang dalam hal WP mengajukan gugatan atas pemeriksaan buper tersebut, bisa dikatakan bahwa pemeriksaan buper tidak akan bisa berjalan dan bukti indikasi tindak pidana tidak akan pernah dapat terkumpul. Oleh karena itu, jika memang keadaannya adalah demikian, tindakan penyidikan tidak seharusnya dilakukan dan tentu saja hal ini merupakan pelanggaran standar pemeriksaan buper oleh aparat. Oleh karena itu, aparat tersebut nantinya akan dikenai sanksi pelanggaran kode etik karena telah melanggar standar pemeriksaan.

Pertimbangan lain adalah, jika ternyata putusan gugatan ternyata memenangkan gugatan wajib pajak, maka apakah yang akan dilakukan untuk penyidikan yang telah berjalan? Dalam hal ini penyidikan tidak akan bisa dihentikan sebab pasal 44 B UU No. 6 tahun 1983 juncto No. 16 tahun 2009 dan PMK130/PMK.03/2009 pasal 2menyatakan bahwa
(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.

(2) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali dan pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan.
 Oleh karena itu, berdasarkan rangkaian pemikiran di atas, untuk hal ini saya setuju dengan pendapat Ibu Ida Zuraida yang menyatakan bahwa tidak seharusnya atas pemeriksaan buper yang sedang dilakukan gugatan oleh WP sehingga menimbulkan ketidakmampuan aparat untuk mengumpulkan bukti dilakukan tindakan penyidikan karena hal tersebut justru akan menimbulkan cacat hukum pidana.  

***

1 komentar:

  1. Susah banget ngerapiin formattingnya cz pasal2 diambil langsung dari Tax Pro yang formatnya default :(. Harap maklum ya pembaca :)

    BalasHapus