Jumat, 12 Oktober 2012

Gonjang-Ganjing Daluwarsa Penagihan PBB


 Sumber gambar : http://www.lpm-projustitia.com/2010_12_01_archive.html

Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 12 tahun 2012 (SE-12/PJ/2012) tentang Pemeliharaan Basis Data Pajak Bumi dan Bangunan dalam Rangka Pemutakhiran Data Piutang Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan sepertinya member “warna” tersendiri bagi piutang PBB di Kantor Pelayanan Pajak. Data tunggakan PBB dari sebelum t`hun 2001 sampai dengan tahun 2012 harus diadministrasikan secara rapi agar saat PBB mulai dialihkan ke Dispenda pada tahun 2013 mendatang mampu menampilkan data yang valid dan akurat, tidak ada kontroversi, dan perbedaan persepsi.

Berkaitan dengan kevalidan data piutang PBB tersebut, dalam artikel ini akan saya bahas satu permasalahan yang seringkali diperdebatkan antara pegawai dalam lingkup intern KPP, antara WP dengan petugas pajak, bahkan antara petugas pajak dengan Dispenda. Masalah yang ada terkait piutang PBB adalah mengenai daluwarsa penagihan PBB. 

Masalah apa saja terkait daluwarsa penagihan yang seringkali membuat suasana KPP menjadi lebih “berwarna”?
Ada tiga masalah yang sering terjadi:
1.  WP sering memperdebatkan apakah utang PBB tahun 2000, 2001, dan 2002 harus tetap dibayarkan? Padahal pihak notaris seringkali hanya mensyaratkan pembayaran utang PBB dalam jangka waktu 5 tahun ke belakang. 
2.  Masalah kedua yang saat ini sedang menjadi perdebatan hangat, apakah utang PBB yang harusnya sudah daluwarsa penagihan, tetap harus diperhitungkan dalam SPMKP saat AR hendak menerbitkan SPMKP dan PLB?  
3.  Masalah terakhir yang juga berkaitan dengan daluwarsa dan berkaitan juga dengan SE-12/ PJ/2012 adalah apa yang harus dilakukan oleh KPP jika mengetahui ada utang PBB yang daluwarsa sebelum PBB benar-benar dialihkan ke daerah? 
     Mari kita bahas gnnjang-ganjing tersebut satu persatu. 

Gonjang-Ganjing I: “Utang Pajak Saya Tahun 2002 Tidak Perlu Dibayar!”
Masalah pertama yang terjadi berkaitan dengan tahun pajak dan daluwarsa. Saya ambil contoh berikut:
Seorang WP sedang asyik berdebat dengan petugas pajak di loket TPT berkaitan dengan kewajiban pembayaran PBB tahun 2002 yang menurut petugas pajak masih harus dilunasi karena masih belum lewat 10 tahun seperti “katanya” pasal di Undang-Undang. Sementara menurut WP utang pajak tahun 2002 tersebut sudah daluwarsa karena lewat lima tahun seperti “katanya” sang notaris. “

Kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini dengan “katanya” dan “mungkin”. Jadi, mari kita selesaikan masalah tersebut dengan kembali pada jalan yang benar, xaitu penafsiran mendalam “Undang-Undang” beserta juklak dan juknisnya. 

Menurut pasal 22 ayat 1 UU No. 6 tahun 1983 stdt UU No. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan sebagai berikut:
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.”

Wah, WP jangan terburu-buru senang dulu karena pendapatnya dianggap benar. Mari kita lihat Ketentuan Peralihan Pasal II ayat 1.
Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000.”

Berdasarkan pasal peralihan tersebut, daluwarsa penagihan tahun pajak 2007 dan sebelumnya akan mengikuti pasal 22 ayat 1 UU No. 6 tahun 1983 stdt. UU No. 16. Tahun 2000 sebelum perubahan ketiga yaitu yang berbunyi sebagai berikut:
“ Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan.”

Menurut SE-59/PJ/2012 daluwarsa penagihan PBB adalah hapusnya/gugurnya hak negara untuk melakukan penagihan dengan Surat Paksa (berdasar Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa) atas PBB, termasuk bunga, denda administrasi, kenaikan, dan biaya penagihannya. Artinya, utang PBB yang tidak dibayar-bayar sampai dengan jangka waktu tertentu dan tidak ada tindak lanjut darh DJP berupa penerbitan Surat Tegoran maupun Surat Paksa dapat dihapuskan karena daluwarsa dalam jangka waktu tertentu.

Nah, dari sini petugas pajak juga jangan girang dulu karena pendapatnya ternyata dibenarkan Undang-Undang. Mari kita teliti isi SE-56/PJ/1992 yang merupakan satu-satunya Surat Edaran mengenai Daluwarsa Penetapan dan Penagihan PBB tersebut. Menurut SE-56/PJ/1992, perhitungan daluwarsa adalah sejak Saat Terutangnya Pajak yaitu tanggal 1 Januari tahun pajak yang bersangkutan.

Artinya dapat dengan jelas digambarkan bahwa:
1.   Tahun pajak 2008 akan daluwarsa pada tahun 2013. Tahun pajak 2009 akan daluwarsa pada tahun 2014, dst.
2.   Sementara itu, untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya, penagihannya akan daluwarsa dalam jangka waktu 10 tahun sesuai pasal 22 TU No. 16 tahun 2000. Contoh, tahun pajak 2007, daluwarsa penagihannya pada tahun 2017 (1 Januari 2017 sudah daluarsa). Begitu pula dengan utang pajak tahun 2002 akan daluwarsa sejak 1 Januari 2012. Demikian pula dengan utang pajak tahun 2013 baru daluwarsa pada tanggal 1 Januari 2013.  
3.   Untuk tahun pajak 2000 dan sebelumnya, daluwarsa penagihan mengikuti pasal 22 UU No. 9 tahun 1994 yaitu sepuluh tahun sejak saat terutang pajak. Artinya utang pajak tahun 2000 akan daluwarsa sejak Januari 2010.

Nah, kelihatan kan kedua pihak (petugar dan WP) telah bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing yang ternyata salah? Utang pajak tahun 2002 memang telah daluwarsa. Namun, tidak seperti alasan WP yang menyebutkan bahwa daluwarsa itu lima tahun. Utang pajak tahun 2002 dinyatakan daluwarsa  lebih dikarenakan alasan saat terutangnya pajak. Si petugas pajak juga tidak sepenuhnya salah karena berpendapat bahwa daluwarsa untuk tahun pajak sebelum tahun 2008 adalah 10 tahun itu benar. Dia hanya salah menerapkan perhitungan saat terutangnya pajak dan lupa melihat SE-56/PJ/1992.

Gonjang-Ganjing II: “Utang Pajak Daluwarsa kok Masih Dihitung dalam PLB?”
Masalah pertama selesai dipecahkan, lalu masalah berikutnya muncul, “Apakah utang pajak yang telah daluwarsa yang belum diusulkan penghapusan tetap harus diperhitungkan sebagai perhitungan utang pajak dalam hal AR hendak menerbitkan SPMKP dan proses perhitungan PLB?”

Kembali lagi ke penafsiran SE-56/PJ/1992 mengenai daluwarsa penagihan pajak, yaitu hapusnya/ gugurnya hak negara untuk melakukan penagihan pajak. Hal ini menurut penjelasan pasal 22 UU KUP lebih ditujukan untuk memberi kepastian hukum kepada wajib pajak.  Bila ditafsirkan lebih jauh, dapat dikatakan bahwa daluwarsa penagihan pajak dapat diartikan bahwa negara menganggap utang pajak WP lunas dan negara tidak memiliki kekuatan untuk menagihnya walaupun belum diusulkan untuk dihapuskan. Dengan demikian, uang WP yang dibayarkan atas utang pajak yang telah daluwarsa, akan masuk ke dalam kas negara dan dianggap sebagai PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). 

Lalu apakah kaitan antara daluwarsa pajak dengan SPMKP? Biasanya, AR akan meminta konfirmasi utang pajak kepada seksi penagihan. Jawaban konfirmasi utang pajak inilah yang nantinya akan digunakan sebagai dasar perhitungan PLB jika masih ada tunggakan pajak. Nah, di sini masalahnya adalah seksi penagihan seringkali memilih untuk tidak mengajukan usul penghapusan piutang atas piutang PBB yang telah daluwarsa sehingga jawaban konfirmasi utang pajak seringkali memperhitungkan hutang pajak yang telah daluwarsa. Alasan yang dipegang adalah karena dalam PMK 68/PMK.03/2012 mengenai Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Dan Penetapan Besarnya Penghapusan, pasal 1 ayat 2 huruf c digunakan kata “Dapat” bukan kata “Wajib” sebagaimana tertuang dalam pasal berikut:
“Piutang pajak yang dapat dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi adalah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena…(c) hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa.”

Lalu apakah tindakan yang harus diambil oleh AR? Tidak ada aturan khusus yang mengatur mengenai tata cara PLB dengan memperhitungan utang pajak yang telah daluwarsa. Dengan demikian, masalah ini harus dilihat dari perspektif dan penafsiran hukum. Seperti telah saya tulis di atas bahwa daluwarsa mengandung makna bahwa utang pajak telah dianggap lunas oleh negara meskipun belum diajukan usul penghapusan piutang. Dengan demikian, lunas sama artinya dengan tidak diperhitungkan sebagai tunggakan pajak. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa utang pajak yang telah daluwarsa meskipun belum diusulkan untuk dilakukan penghapusan tidak dapat dimasukkan dalam perhitungan Lebih Bayar dalam penerbitan SPMKP dan PLB. AR berpegang pada Undang-Undang di sini, bukan pada disposisi jawaban konfirmasi dari seksi penagihan. 

Gonjang-Ganjing III: “Siapa yang Memulai, Dialah yang Mengakhiri.”

Masalah ketiga yang sedang hangat diperbincangkan oleh orang-orang Non DJP (artinya kalau Pegawai Pajak pasti sudah atau bahkan sedang melaksanakan aturannya) adalah mengenai apa yang harus dilakukan KPP atas utang PBB yang telah daluwarsa, sementara PBB untuk wilayah Kanwil Jatim III akan dialihkan ke  daerah mulai Januari 2013.

Jawabannya ada pada Bab III Ketentuan Peralihan pasal 6 PER-61/PJ/2010 tentang Tata Cara Persiapan Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah. Pasal tersebut intinya KPP wajib menyampaikan usulan penghapusan piutang PBB ke Kanwil DJP paling lambat tanggal 10 November sebelum tahun Pengalihan. Sementara itu, Kanwil DJP wajib menyampaikan ke KPDJP paling lambat tanggal 19 November sebelum tahun pengalihan. Tahapan terakhir, Dirjen Pajak wajib menyampaikan kdpada Menteri Keuangan paling lambat tanggal 1 Desember sebelum tahun pengalihan.
Dengan demikian, aturan ini telah menganut motto “siapa yang memulai, dialah yang mengakhiri”. 

KESIMPULAN:

1.  Daluwarsa penagihan pajak diringkas sebagai berikut:
 a. Utang pajak tahun 2008 dst. daluwarsa 5 tahun sejak saat terutang pajak (1 Januari tahun pajak yang bersangkutan)
b.  Utang pajak tahun 2007 dan sebelumnya daluwarsa 10 tahun sejak saat terutang pajak (1 Januari tahun pajak yang bersangkutan)
2.  AR tidak berhak memperhitungkan utang pajak yang telah daluwarsa meskipun belum diusulkan penghapusan piutang untuk perhitungan PLB karena utang pajak telah “dianggap” lunas oleh negara dan negara tidak memiliki kekuatan untuk menagih utang pajak yang telah daluwarsa.
3.  Utang pajak yang telah daluwarsa yang akan dialihkan je daerah wajib diusulkan penghapusan piutang pajak. Maksimal tanggal 10 November untuk KPP ke Kanwil, tanggal 19 November untuk Kanwil ke KPDJP, dan tanggal 1 Desember untuk Dirjen Pajak kepada Menkeu.
Semoga penjelasan di atas bermanfaat dan dapat meredakan gonjang-ganjing di KPP Anda masing-masing .

Salam Fiskus
Malang, 12 Oktober 2012
Rizmy Otlani Novastria

3 komentar:

  1. pagi mba,,
    jadi seandainya WP punya tunggakan dari tahun 2000 maka WP wajib bayar untuk 12 tahun sampai 2012 bgitu ya ?

    BalasHapus
  2. pagi, utang pajak tahun 2000 daluwarsa tahun 2010. Begitu pula dengan utang pajak tahun 2001, daluwarsa tahun 2011 dan utang pajak tahun 2002 akan daluwarsa pada 1 jan 2012. Dengan demikian, tunggakan yang wajib dibayar hanya atas tunggakan tahun*2003 dst.

    BalasHapus
  3. tulisan yang menarik mbak.. :)
    thanks informasinya.

    BalasHapus