Karya: Rizmy Otlani Novastria
Dia cinta pertamaku….
Kuingat kembali saat dia melantukan larik stanza cinta sambil
mengucap kata sayang. Tangannya selalu menggenggam erat saat aku lemah
tak berdaya, seolah berusaha berbisik, “Aku selalu ada di sampingmu.”
“Aku kembali,” ucapanku teredam di ruangan penuh ornamen kayu eboni
ini.
Dia hanya terdiam memunggungi.
“Aku kembali,” ulangku lebih lantang
Tak ada jawaban. Kulihat kepalanya yang berbalut rajutan ciput hitam
hanya sedikit menunduk. Dari balik bahu, kulihat tangannya
bergerak-gerak terusik.
“Ah…masih marah sepertinya,” sambil mengerang kulepaskan tas
punggung merah maroon dari pundakku. Entah kenapa aku yang dulu sangat
membenci interogasi overprotektifnya, kini malah merindukannya setelah
kepergianku yang cukup lama.
Hembusan angin menerpa atap rumah meluruhkan dedaunan pohon lakum
yang telah menguning. Mungkin cintanya telah luruh seperti dedaunan itu.
***
“Mas, darimana saja? Kelayapan ya,” sindirnya tajam setiap kali aku
pulang larut. Bagiku pertanyaan itu hanyalah sebuah pertanyaan retoris
tak berdasar. Aku hanya melontarkan senyum alih-alih jawaban.
“Dengan siapa?” nadanya naik.
Aku terlalu lelah untuk menjawab semua pertanyaan tersebut.
Kuletakkan tasku di meja ruang tamu agar dia menghentikan investigasi
tak berujung ini. Dia melirik sekilas.
“Lihat, pakaianmu lusuh...wajahmu letih. Tak bisakah kau menjaga
diri?” emosinya masih terlihat jelas di raut mukanya yang sayu.
Kecantikannya telah luntur dimakan waktu dan kekhawatiran yang berlebih.
Siapa mengira dulu dia adalah kembang desa.
“Jangan terlalu mengkhawatirkanku...,” aku memegang pundaknya dan
memutar tubuhnya hingga menghadap cermin yang diterangi temaram lampu
osmium.
Dari balik kaca dia memandangi tubuhnya yang tinggal tulang berbalut
kulit, rambutnya yang kusut, dan garis-garis halus yang menghiasi hampir
seluruh wajahnya.
“Siapakah yang tak bisa merawat diri?” sindirku lembut.
Dia terpaku dan menatap lekat cermin itu. Kebisuan sepuluh detik ini
sangat menyiksaku. Apakah aku salah berbicara?
“Hanya kebutuhanmu yang kupikirkan saat ini, Mas… Hanya ada kamu
sekarang.”
Tak kusangka, kristal bening mulai mengalir di kedua sudut matanya.
***
Susunan kaca mozaik yang dipandanginya sejak lima belas menit lalu
bergetar terhempas angin anabatik yang makin memburuk di lembah gersang
ini. Membuyarkanku dari semua lamunan masa lalu. Aku masih berdiri di
pintu.
Kini dia benar-benar memilih diam. Kulihat tulang lehernya semakin
menonjol di antara kerah blus dan ciputnya.
“Jangan lupa makan,” suaraku memecah keheningan.
Aku ingat bagaimana dia juga sering mengingatkanku untuk hal-hal
sepele semacam itu.
Hening...
Suasana masih beku. Harus kubuka pembicaraan yang telah vakum selama
satu dekade ini.
“Aku mengerjakan proyek raksasa di Batam,” sambil bercerita
kumelangkah memasuki ruangan, “uang bulanan yang kukirim lewat rekening
adalah hasil jerih payahku,” kakiku terus berayun hingga jarak antara
aku dan dia semakin dekat, “Harusnya uang sejumlah itu lebih dari
cukup.”
Dari sini bisa kulihat tulang belikatnya, seperti tonjolan
kesengsaraan bertahun-tahun di balik kepolosan blus putihnya.
Kualihkan pandangan menuju foto keluarga kami yang masih terpajang
dalam bingkai kayu cendana. Sayang foto itu kini telah dilapisi debu.
Kuusap perlahan dengan ujung kemeja hingga aku dapat melihat sosok
mungil yang tertawa riang di gendonganku.
“Si kecil Diana… Harusnya dia telah menjadi remaja yang cantik,”
sambil tersenyum kupandangi bidadari kecil itu.
“Andai saja waktu itu…,” tak sanggup kulanjutkan kata-kataku. Seolah
luka lama yang telah terbalut selama bertahun-tahun kini menganga
kembali.
***
Diana yang baru berusia tiga tahun tertawa riang di pangkuanku saat
mobil kami melaju di jalanan arteri. Berpacu bagai deru jantung bocah
kecil yang tak sabar melihat hamparan pasir putih dan perairan benhur
jernih .
“Pantai!” teriaknya bersemangat.
Disebelahku. seorang teman wanita yang cantik menemani perjalanan
kami.
“Sebentar lagi kita sampai Zahra…,” jawabku sambil memandang sekilas
ke arahnya, mengagumi setiap detil wajahnya yang sempurna.
Hingga sebuah truk pengaduk menyambut kami dari arah berlawanan. Tak
pelak mobil kami pun terpelanting keras menghantam pohon bedaru.
Diana dan Zahra meninggal saat itu juga…
Hanya nyawaku yang selamat.
***
Aku terbujur di rumah sakit. Ditemani oleh dia.
“Maafkan aku…” lidahku kelu saat mengungkap kronologi mengenaskan
itu. Tak sanggup kutatap matanya.
Semenjak kecelakaan tragis tersebut, kupikir dia tak akan pernah
memaafkan dan akan mengusirku. Ternyata dugaanku meleset.
Dia tetap mencintaiku. Hanya saja ada yang berubah.
***
“Mas, kamu tak mengerti!” bentaknya pada suatu hari.
“Apa lagi?”
“Sudah kubilang hentikan!”
Kumatikan rokok yang tengah kuhisap dan mencoba untuk tetap tenang.
Hujan sudah reda namun petir terdengar masih menggelegar di luar. Kuraih
remote dan berharap akan ada acara yang menghibur di akhir pekan ini.
“Matikan!” bentaknya lagi.
Aku mencoba menuruti semua kata-katanya. Tapi aku butuh pengalihan
pikiran dari semua masalah pekerjaan yang menumpuk di kantor.
“Aku mau cari udara segar,” sambil beranjak kuambil kunci mobil.
Tak kuduga dia merampas kunci yang telah ada di genggamanku.
“Kamu tidak boleh pergi!”
Selalu seperti ini. Kesabaranku mulai habis. Bagaimana bisa setiap
detik dia sangat membatasi kebebasanku?
Bertahun-tahun sejak kematian Diana, aku mencoba bertahan dengan
semua sikapnya. Tapi kali ini sudah cukup. Rumah ini lebih mirip bui
sekarang. Bagiku dia hanya akan menghambat kesuksesanku. Tidak ada lagi
yang bisa kuharapkan dari dirinya.
***
“Mas, jangan pergi!” tangisnya di suatu malam.
“Aku harus pergi,” kurapikan pakaianku ke dalam koper.
“Kamu tega!” tangisnya mulai membuncah.
“Aku tak bisa terus disini,”
Resleting koper telah kutarik. Aku bergegas menuju garasi. Tak
kuacuhkan semua ceracau menyedihkan yang masih terus mengikuti di
belakangku. Sebelum dia menghalangiku lagi, starter mobil telah
kunyalakan.
“Selamat tinggal rumah,” ucapku pada diriku sendiri. Meninggalkan
semua kenangan indah di rumah prodeo ini
“Selamat datang harapan baru,” kutancap gas menuju kota impianku.
Disanalah harapan yang baru akan kurintis –Batam.
Seolah bertalu-talu mengiringi perjalananku, raung tangisnya yang
pilu masih jelas menggema di telinga.
***
Jam berdentang dua belas kali.
Tak terasa aku telah bercerita hampir satu jam. Kukira dengan bicara
masa lalu, dia akan terpancing emosinya seperti dulu lagi. Tapi dia
tetap tenang mendengarkan.
“Maaf…,” hanya itu kata penutup yang terlontar dari mulutku. Aku
sadar telah berkali-kali menyakitinya.
“Sayang...,” sebuah suara wanita tiba-tiba memanggil dari arah pintu.
Ini saatnya…pikirku dalam hati.
Aku menjemput wanita muda yang sedang berdiri di pintu tersebut.
Bagiku dia sempurna. Kuraih tangan halusnya yang dihiasi kilauan emas
berlian, sama berkilaunya seperti kemilau wajahnya yang tanpa
cacat.Dialah sosok wanita yang tidak pernah menginterogasi kemana aku
pergi karena dia tahu aku sedang bekerja membanting tulang demi dirinya.
Dialah sosok wanita yang kembali manja setelah pertengkaran saat aku
memberinya hadiah-hadiah mewah yang dia senangi. Seseorang yang tidak
pernah bisa membuatku marah karena kecantikannya yang sangat memesona.
Kecantikan yang tidak bisa diperoleh tanpa pengorbanan uang dan waktu
yang banyak.
Wanita inilah yang menikah denganku saat aku sukses menjadi presiden
direktur di salah satu perusahaan ternama di Batam.
“Namanya Cassandra…,” dengan bangga kuperkenalkan istri cantikku
dihadapan wanita yang pernah kusakiti.
Kini dapat kulihat dengan jelas. Wanita yang telah lama kutinggalkan
itu kondisinya sangat menyedihkan. Keriput mengukir setiap bagian
wajahnya menggambarkan guratan-guratan luka dalam. Tubuhnya yang kering
kerontang seolah menggambarkan dirinya yang hidup kesepian
bertahun-tahun.
Dan…kedua matanya terpejam…seolah tak mau melihat kebahagiaanku
bersama Cassandra.
“Aku bahagia jika Cassandra bahagia,” kupandangi sekali lagi wajah
Cassandra yang rupawan. Sebuah pemandangan berbalik 180 derajat
dibandingkan wanita yang kupandang beberapa detik lalu.
Tapi…kulihat ada yang berbeda di mata Cassandra. Matanya yang
biasanya bersinar teduh, kali ini terbelalak, seolah memandang sesuatu
yang sangat mengerikan.
“Cassandra…,” kulihat mulutnya mulai menganga.
“Dia…dia…,” dengan tergagap Cassandra mengangkat lengan berniat
menyentuh wanita itu.
“Cassandra!” sebelum aku sempat menghentikannya, Cassandra telah
menggoncangkan pundak wanita itu. Pada saat yang bersamaan, tubuh kurus
dan ringkih wanita itu lunglai ke depan. Secara mengerikan wanita itu
kini jatuh tersungkur dari kursinya.
“Ibu!!!” Teriakku histeris.
Ibuku yang malang kini terbujur di lantai kayu kamar. Tanpa kusadari
entah sudah berapa menit yang lalu dia menghembuskan nafas terakhirnya.
Mataku seketika nanar. Seseorang yang telah mengandungku selama
sembilan bulan, menjagaku bertahun-tahun, mengikatku dengan cinta dan
ikatan batin yang tulus, kini meninggalkanku untuk selamanya.
Tangisan tak terbendung terdengar menyayat hingga ke luar pondok duka
ini. Mengalir menyusuri lembah penyesalan yang teramat dalam.
***
Sudah sebulan semenjak kepergian Ibuku. Dokter telah mengotopsi dan
hasilnya adalah ibuku menderita penyakit jantung kronis selama kurang
lebih sepuluh tahun. Tepat saat aku mulai meninggalkannya sendirian demi
mencapai harapan baru.
Di rumah yang sama, tempat dimana aku dulu sering berdebat dengan
Ibu, kini terasa hampa dan sepi. Tak bisa lagi kudengar semua aturan dan
larangan yang seolah tak pernah lelah Ibu lontarkan untuk menemani
hari-hariku.
Yang tersisa darinya sekarang hanya sebuah lemari berisi baju-baju
sederhana dengan aroma khas Ibu yang masih jelas kuingat. Baju-baju itu
seolah memanggil-manggil empunya, merindukan saat-saat untuk kembali
dikenakan.
Di antara tumpukan baju itu, kutemukan secarik kertas bhru.
Berlahan kubaca alinea demi alinea.
“Dimas anakku…
Bukannya terlalu memenjarakanmu
Tapi semua karena Ibu terlalu sayang padamu
Ibu tak ingin lagi kehilangan seorang buah hati lagi setelah
kepergian adikmu,Diana…
Rasanya sangat menyakitkan …
Mungkin kamu membenci Ibu
Tapi inilah kalaza cinta seorang Ibu
Seolah terlihat mengikat
Tapi semua demi kebaikan sang embrio
Yang pada saatnya nanti, embrio itu akan menetas
Dan sang kalaza akan menghilang
Untuk selamanya…”
***
Malam temaram…
Penyesalan mendalam tak kan bisa ditebus dengan gunung sebesar
apapun.
Kuulang-ulang bagian terakhir surat itu...
Kalaza cinta ini
Membuat Ibu tetap mencintaimu sampai kapanpun
Jangan sedih jika aku meninggalkanmu…
Ibu bahagia asal kamu juga bahagia
Salam Hangat, Ibumu
Dilangit sana…kulihat seolah ibu tersenyum melihat putranya telah
sukses dan tumbuh dewasa.
Andai aku menyadari betapa singkatnya kebersamaan kita…akan
kubahagiakan engkau terlebih dahulu Ibu –karena engkaulah cinta
pertamaku.
Saujana, 01
Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar