Senin, 01 Oktober 2012

Kalaza Cinta Pertama

Karya: Rizmy Otlani Novastria

Dia cinta pertamaku….

Kuingat kembali saat dia melantukan larik stanza cinta sambil mengucap kata sayang. Tangannya selalu menggenggam erat saat aku lemah tak berdaya, seolah berusaha berbisik, “Aku selalu ada di sampingmu.”

“Aku kembali,” ucapanku teredam di ruangan penuh ornamen kayu eboni ini.

Dia hanya terdiam memunggungi.

“Aku kembali,” ulangku lebih lantang

Tak ada jawaban. Kulihat kepalanya yang berbalut rajutan ciput hitam hanya sedikit menunduk. Dari balik bahu, kulihat tangannya bergerak-gerak terusik.



“Ah…masih marah sepertinya,” sambil mengerang kulepaskan tas punggung merah maroon dari pundakku. Entah kenapa aku yang dulu sangat membenci interogasi overprotektifnya, kini malah merindukannya setelah kepergianku yang cukup lama.

Hembusan angin menerpa atap rumah meluruhkan dedaunan pohon lakum yang telah menguning. Mungkin cintanya telah luruh seperti dedaunan itu.

                                                      ***

“Mas, darimana saja? Kelayapan ya,” sindirnya tajam setiap kali aku pulang larut. Bagiku pertanyaan itu hanyalah sebuah pertanyaan retoris tak berdasar. Aku hanya melontarkan senyum alih-alih jawaban.

“Dengan siapa?” nadanya naik.

Aku terlalu lelah untuk menjawab semua pertanyaan tersebut. Kuletakkan tasku di meja ruang tamu agar dia menghentikan investigasi tak berujung ini. Dia melirik sekilas.

“Lihat, pakaianmu lusuh...wajahmu letih. Tak bisakah kau menjaga diri?” emosinya masih terlihat jelas di raut mukanya yang sayu. Kecantikannya telah luntur dimakan waktu dan kekhawatiran yang berlebih. Siapa mengira dulu dia adalah kembang desa.

“Jangan terlalu mengkhawatirkanku...,” aku memegang pundaknya dan memutar tubuhnya hingga menghadap cermin yang diterangi temaram lampu osmium.

Dari balik kaca dia memandangi tubuhnya yang tinggal tulang berbalut kulit, rambutnya yang kusut, dan garis-garis halus yang menghiasi hampir seluruh wajahnya.

“Siapakah yang tak bisa merawat diri?” sindirku lembut.

Dia terpaku dan menatap lekat cermin itu. Kebisuan sepuluh detik ini sangat menyiksaku. Apakah aku salah berbicara?

“Hanya kebutuhanmu yang kupikirkan saat ini, Mas… Hanya ada kamu sekarang.”

Tak kusangka, kristal bening mulai mengalir di kedua sudut matanya.

                                                    ***

Susunan kaca mozaik yang dipandanginya sejak lima belas menit lalu bergetar terhempas angin anabatik yang makin memburuk di lembah gersang ini. Membuyarkanku dari semua lamunan masa lalu. Aku masih berdiri di pintu.

Kini dia benar-benar memilih diam. Kulihat tulang lehernya semakin menonjol di antara kerah blus dan ciputnya.

“Jangan lupa makan,” suaraku memecah keheningan.

Aku ingat bagaimana dia juga sering mengingatkanku untuk hal-hal sepele semacam itu.

Hening...

Suasana masih beku. Harus kubuka pembicaraan yang telah vakum selama satu dekade ini.

“Aku mengerjakan proyek raksasa di Batam,” sambil bercerita kumelangkah memasuki ruangan, “uang bulanan yang kukirim lewat rekening adalah hasil jerih payahku,” kakiku terus berayun hingga jarak antara aku dan dia semakin dekat, “Harusnya uang sejumlah itu lebih dari cukup.”

Dari sini bisa kulihat tulang belikatnya, seperti tonjolan kesengsaraan bertahun-tahun di balik kepolosan blus putihnya.

Kualihkan pandangan menuju foto keluarga kami yang masih terpajang dalam bingkai kayu cendana. Sayang foto itu kini telah dilapisi debu. Kuusap perlahan dengan ujung kemeja hingga aku dapat melihat sosok mungil yang tertawa riang di gendonganku.

“Si kecil Diana… Harusnya dia telah menjadi remaja yang cantik,” sambil tersenyum kupandangi bidadari kecil itu.

“Andai saja waktu itu…,” tak sanggup kulanjutkan kata-kataku. Seolah luka lama yang telah terbalut selama bertahun-tahun kini menganga kembali.

                                                       ***

Diana yang baru berusia tiga tahun tertawa riang di pangkuanku saat mobil kami melaju di jalanan arteri. Berpacu bagai deru jantung bocah kecil yang tak sabar melihat hamparan pasir putih dan perairan benhur jernih .

“Pantai!” teriaknya bersemangat.

Disebelahku. seorang teman wanita yang cantik menemani perjalanan kami.

“Sebentar lagi kita sampai Zahra…,” jawabku sambil memandang sekilas ke arahnya, mengagumi setiap detil wajahnya yang sempurna.

Hingga sebuah truk pengaduk menyambut kami dari arah berlawanan. Tak pelak mobil kami pun terpelanting keras menghantam pohon bedaru.

Diana dan Zahra meninggal saat itu juga…

Hanya nyawaku yang selamat.

                                                            ***

Aku terbujur di rumah sakit. Ditemani oleh dia.

“Maafkan aku…” lidahku kelu saat mengungkap kronologi mengenaskan itu. Tak sanggup kutatap matanya.

Semenjak kecelakaan tragis tersebut, kupikir dia tak akan pernah memaafkan dan akan mengusirku. Ternyata dugaanku meleset.

Dia tetap mencintaiku. Hanya saja ada yang berubah.

                                                          ***

“Mas, kamu tak mengerti!” bentaknya pada suatu hari.

“Apa lagi?”

“Sudah kubilang hentikan!”

Kumatikan rokok yang tengah kuhisap dan mencoba untuk tetap tenang. Hujan sudah reda namun petir terdengar masih menggelegar di luar. Kuraih remote dan berharap akan ada acara yang menghibur di akhir pekan ini.

“Matikan!” bentaknya lagi.

Aku mencoba menuruti semua kata-katanya. Tapi aku butuh pengalihan pikiran dari semua masalah pekerjaan yang menumpuk di kantor.

“Aku mau cari udara segar,” sambil beranjak kuambil kunci mobil.

Tak kuduga dia merampas kunci yang telah ada di genggamanku.

“Kamu tidak boleh pergi!”

Selalu seperti ini. Kesabaranku mulai habis. Bagaimana bisa setiap detik dia sangat membatasi kebebasanku?

Bertahun-tahun sejak kematian Diana, aku mencoba bertahan dengan semua sikapnya. Tapi kali ini sudah cukup. Rumah ini lebih mirip bui sekarang. Bagiku dia hanya akan menghambat kesuksesanku. Tidak ada lagi yang bisa kuharapkan dari dirinya.

                                                           ***

“Mas, jangan pergi!” tangisnya di suatu malam.

“Aku harus pergi,” kurapikan pakaianku ke dalam koper.

“Kamu tega!” tangisnya mulai membuncah.

“Aku tak bisa terus disini,”

Resleting koper telah kutarik. Aku bergegas menuju garasi. Tak kuacuhkan semua ceracau menyedihkan yang masih terus mengikuti di belakangku. Sebelum dia menghalangiku lagi, starter mobil telah kunyalakan.

“Selamat tinggal rumah,” ucapku pada diriku sendiri. Meninggalkan semua kenangan indah di rumah prodeo ini

“Selamat datang harapan baru,” kutancap gas menuju kota impianku. Disanalah harapan yang baru akan kurintis –Batam.

Seolah bertalu-talu mengiringi perjalananku, raung tangisnya yang pilu masih jelas menggema di telinga.

                                                               ***

Jam berdentang dua belas kali.

Tak terasa aku telah bercerita hampir satu jam. Kukira dengan bicara masa lalu, dia akan terpancing emosinya seperti dulu lagi. Tapi dia tetap tenang mendengarkan.

“Maaf…,” hanya itu kata penutup yang terlontar dari mulutku. Aku sadar telah berkali-kali menyakitinya.

“Sayang...,” sebuah suara wanita tiba-tiba memanggil dari arah pintu.

Ini saatnya…pikirku dalam hati.

Aku menjemput wanita muda yang sedang berdiri di pintu tersebut. Bagiku dia sempurna. Kuraih tangan halusnya yang dihiasi kilauan emas berlian, sama berkilaunya seperti kemilau wajahnya yang tanpa cacat.Dialah sosok wanita yang tidak pernah menginterogasi kemana aku pergi karena dia tahu aku sedang bekerja membanting tulang demi dirinya. Dialah sosok wanita yang kembali manja setelah pertengkaran saat aku memberinya hadiah-hadiah mewah yang dia senangi. Seseorang yang tidak pernah bisa membuatku marah karena kecantikannya yang sangat memesona.

Kecantikan yang tidak bisa diperoleh tanpa pengorbanan uang dan waktu yang banyak.

Wanita inilah yang menikah denganku saat aku sukses menjadi presiden direktur di salah satu perusahaan ternama di Batam.

“Namanya Cassandra…,” dengan bangga kuperkenalkan istri cantikku dihadapan wanita yang pernah kusakiti.

Kini dapat kulihat dengan jelas. Wanita yang telah lama kutinggalkan itu kondisinya sangat menyedihkan. Keriput mengukir setiap bagian wajahnya menggambarkan guratan-guratan luka dalam. Tubuhnya yang kering kerontang seolah menggambarkan dirinya yang hidup kesepian bertahun-tahun.

Dan…kedua matanya terpejam…seolah tak mau melihat kebahagiaanku bersama Cassandra.

“Aku bahagia jika Cassandra bahagia,” kupandangi sekali lagi wajah Cassandra yang rupawan. Sebuah pemandangan berbalik 180 derajat dibandingkan wanita yang kupandang beberapa detik lalu.

Tapi…kulihat ada yang berbeda di mata Cassandra. Matanya yang biasanya bersinar teduh, kali ini terbelalak, seolah memandang sesuatu yang sangat mengerikan.

“Cassandra…,” kulihat mulutnya mulai menganga.

“Dia…dia…,” dengan tergagap Cassandra mengangkat lengan berniat menyentuh wanita itu.

“Cassandra!” sebelum aku sempat menghentikannya, Cassandra telah menggoncangkan pundak wanita itu. Pada saat yang bersamaan, tubuh kurus dan ringkih wanita itu lunglai ke depan. Secara mengerikan wanita itu kini jatuh tersungkur dari kursinya.

“Ibu!!!” Teriakku histeris.

Ibuku yang malang kini terbujur di lantai kayu kamar. Tanpa kusadari entah sudah berapa menit yang lalu dia menghembuskan nafas terakhirnya.

Mataku seketika nanar. Seseorang yang telah mengandungku selama sembilan bulan, menjagaku bertahun-tahun, mengikatku dengan cinta dan ikatan batin yang tulus, kini meninggalkanku untuk selamanya.

Tangisan tak terbendung terdengar menyayat hingga ke luar pondok duka ini. Mengalir menyusuri lembah penyesalan yang teramat dalam.

                                                          ***
Sudah sebulan semenjak kepergian Ibuku. Dokter telah mengotopsi dan hasilnya adalah ibuku menderita penyakit jantung kronis selama kurang lebih sepuluh tahun. Tepat saat aku mulai meninggalkannya sendirian demi mencapai harapan baru.

Di rumah yang sama, tempat dimana aku dulu sering berdebat dengan Ibu, kini terasa hampa dan sepi. Tak bisa lagi kudengar semua aturan dan larangan yang seolah tak pernah lelah Ibu lontarkan untuk menemani hari-hariku.

Yang tersisa darinya sekarang hanya sebuah lemari berisi baju-baju sederhana dengan aroma khas Ibu yang masih jelas kuingat. Baju-baju itu seolah memanggil-manggil empunya, merindukan saat-saat untuk kembali dikenakan.

Di antara tumpukan baju itu, kutemukan secarik kertas bhru.

Berlahan kubaca alinea demi alinea.

“Dimas anakku…
Bukannya terlalu memenjarakanmu
Tapi semua karena Ibu terlalu sayang padamu

Ibu tak ingin lagi kehilangan seorang buah hati lagi setelah kepergian adikmu,Diana…
Rasanya sangat menyakitkan …

Mungkin kamu membenci Ibu
Tapi inilah kalaza cinta seorang Ibu
Seolah terlihat mengikat
Tapi semua demi kebaikan sang embrio
Yang pada saatnya nanti, embrio itu akan menetas
Dan sang kalaza akan menghilang
Untuk selamanya…”

                                                     ***
Malam temaram…
Penyesalan mendalam tak kan bisa ditebus dengan gunung sebesar apapun.

Kuulang-ulang bagian terakhir surat itu...

Kalaza cinta ini
Membuat Ibu tetap mencintaimu sampai kapanpun
Jangan sedih jika aku meninggalkanmu…
Ibu bahagia asal kamu juga bahagia

Salam Hangat, Ibumu


Dilangit sana…kulihat seolah ibu tersenyum melihat putranya telah sukses dan tumbuh dewasa.

Andai aku menyadari betapa singkatnya kebersamaan kita…akan kubahagiakan engkau terlebih dahulu Ibu –karena engkaulah cinta pertamaku.

Saujana, 01 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar