Selasa, 05 Februari 2013

Altruisme dalam Dunia Kerja, Bijakkah?







Teori psikologi evolusioner yang berakar dari teori evolusi Darwin telah mencetuskan penelitian terhadap sikap altruisme seorang manusia untuk bertahan hidup dan diakui oleh lingkungannya. Sebuah pergeseran maknawi bahwa sikap altruistis yang seharusnya memiliki arti "mementingkan orang lain tanpa mengharapkan imbalan", kini mengalami translasi arti menjadi "ajang bagi seorang manusia untuk menjadi achievable di lingkungannya". Seolah sikap altruisme ini menjadi sebuah kebutuhan puncak bagi seorang makhluk individu yang bernama manusia dalam tingkatan piramida Maslow -tanpa menyadari bahwa manusia sesungguhnya telah terlahir sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Bagi seorang altruistis, sikap tersebut dipercaya akan dapat menjaga eksistensi pribadinya yang bila tidak dilaksanakan akan mengakibatkan 'kiamat' bagi kehidupan sosialnya.

Gagasan mengenai altruisme seringkali menjadi perdebatan menarik, apakah altruisme tersebut dianggap baik sehingga harus menjadi sebuah golden rule dalam tatanan etika sejalan dengan pikiran filsafat positivisme Auguste Comte, atau bisa jadi altruisme tersebut bersifar buruk bagi para penganut paham objektivisme. Terlepas dari baik, atau buruk, altruisme atau bahkan egoisme yang merupakan lawan dari altruisme, selama dilakukan dalam batasan yang wajar dan tidak berlebihan menurut penulis pasti mengandung sebuah kebaikan -tergantung darimana kita memandang. Menukil perkataan seorang sahabat lama beberapa tahun lalu "Tidak ada yang tercipta di semesta ini satu hal pun yang tidak memberi manfaat atau hikmah bagi manusia. Semuanya tergantung dari bagaimana manusia menyikapinya."
Dalam dunia kerja, altruisme membaur dengan makna loyalitas atau kewajiban terhadap atasan, prestasi kerja, karir, sikap patriotisme, dan berbagai indeks terukur lainnya yang lagi-lagi mengaburkan makna dasar sebuah altruisme sejati. Seringkali kita bersikap sangat peduli terhadap pekerjaan rekan kerja lainnya demi mendapat sebuah label "trust and care". Para altruistis tidak akan berkata 'tidak' saat rekan kerja meminta pertolongan dalam melaksanakan tupoksinya yang seharusnya bukan porsi mereka. Ketakutan akan dicap "tidak ringan tangan" oleh rekan maupun atasan menjadi sebuah borgol yang mengikat para altruistis dengan sebuah doktrin etis bahwa mereka diciptakan dengan kewajiban moral untuk dimanfaatkan orang lain. 

Padahal Charles Darwin sendiri telah mencetuskan sebuah hipotesa "Altruisme Timbal Balik". Tidak masalah seseorang bersikap altruisme asalkan "lawan mainnya" adalah seorang altruistis juga. "Anda menghormati Saya, maka saya pun akan menghormati Anda." Memang menyenangkan jika rekan kerja kita sejalan dengan sikap altruistis kita sehingga saat kita membutuhkan uluran tangan mereka, mereka akan ada untuk kita. Di sisi lain, merupakan sebuah bencana jika rekan kerja kita ternyata seorang yang cenderung egois dan memanfaatkan kebaikan seorang altruistis demi kepentingan mereka pribadi. Dalam dunia kerja khususnya, memilih menjadi seorang altruis ini merupakan sebuah "pilihan neraka" yang pada akhirnya mempengaruhi sinergisitas sebuah organisasi. Ada empat alasan penulis mengapa seorang altruisme bukan merupakan teladan baik di dunia kerja :

1. Altruistis dan "Perbudakan"
Budak atau slave berasal dari kata slav yang merujuk pada bangsa Slavia yang banyak dijadikan budak pada awal abad pertengahan (Wikipedia). Well, sedikit berlebihan memang ketika saya menganalogikan sebuah sikap altruis dengan fenomena perbudakan. Walaupun hukum hak azazi manusia telah menghapuskan perbudakan secara fisik, ternyata ia telah bertransformasi menjadi perbudakan batin dalam asimetri komitmen di dunia kerja. Pengontrolan setiap saat terhadap diri seseorang oleh sesama rekan kerja yang bukan merupakan atasan tanpa gaji atau imbalan merupakan makna dari "budak" itu sendiri. 

Bayangkan seorang altruis dalam dunia kerja yang karena sikap over care nya selalu mengiyakan setiap permintaan rekan kerja untuk mengerjakan deadline. Perlu Anda catat di sini, saat Anda berkata "Ok", maka   secara moral merupakan kesalahan Anda bila Anda tidak menyelesaikan tugas tersebut tepat waktu. Bagi seorang altruis, melalaikan tanggung jawab moral itu merupakan tamparan telak melebihi tekanan dari deadline pekerjaan itu sendiri. 

2. Hukum Kefanaan "Tidak Ada yang Tak Terbatas"
Manusia merupakan salah satu unsur kosmos alam yang terwujud melalui proses penciptaan. Setiap yang bermula pasti ada sebuah akhirnya. Begitu pula manusia itu sendiri , setiap ada kehidupan pasti ada kematian. Sebuah kefanaan dunia dimana ada awal pasti ada akhir. Semuanya melambangkan keterbatasan sebagai simbolis bahwa ada kekuatan yang melingkupi kefanaan tersebut, yaitu kekuasaan Tuhan.

Sebagaimana yang fana, energi dan kapabilitas manusia dalam menghandle sebuah pekerjaan juga memiliki keterbatasan. Meskipun teori "pengali sumber daya" sebagai sebuah trigger motivation dapat diaplikasikan, tetap saja fisik manusia memiliki batas kemampuan maksimal. Walaupun bukan fisik -katakanlah Anda seorang penggemar Teori The Secret yang selalu berargumen bahwa kehidupan Anda ditentukan pikiran Anda, jika pikiran Anda berkata sehatlah maka sehat pula fisik kita- , tetap saja manusia memiliki keterbatasan "waktu" sebagai sebuah garis linier yang tidak akan terulang atau terhenti. Jika masih ragu dengan makna sebuah keterbatasan, saya tantang apakah Anda sanggup mengerjakan 100 essai dengan batas minimal masing-masing essai adalah 1000 kata hanya dalam kurun waktu 1 menit? 

3. Inkonsisten Berarti "Freak"
Ketika altruisme menjadi hal yang "biasa" tampak dari diri Anda, Anda akan dianggap "aneh", "freak", atau bahkan "gila" saat Anda tidak melakukannya. Bisakah Anda merasakan perubahan pandangan orang-orang di sekitar Anda saat Anda tidak melakukan pekerjaan yang biasa Anda laksanakan? Sungguh sebuah ironi jika Anda terjebak pada sebuah konsistensi altruis dimana Anda terbiasa mengatakan "iya", kemudian pada saat tertentu Anda mengatakan "No". Kepercayaan mereka akan seketika jatuh terhadap Anda daripada mereka ditolak oleh orang yang biasa berkata "No".

4. Sikap Altruis adalah Bom Bunuh Diri Organisasi
Organisasi merupakan kumpulan manusia yang memiliki tujuan yang sama dan bekerja bersama-sama. Ilmu organisasi dan manajemen modern telah meneliti bahwa spesialisasi pekerjaan merupakan sarana untuk efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan organisasi. Sekarang posisikan Anda sebagai orang yang "multitasking" dan allround, Anda akan diberdayakan di berbagai bidang sementara di bidang-bidang tersebut telah ada personil yang seharusnya bertanggung jawab. Bagaimanapun teori manajemen mengungkapkan bahwa pekerjaan satu orang hebat tidak akan lebih baik daripada pekerjaan beberapa orang sekaligus. Kebiasaan Anda untuk menghandle pekerjaan-pekerjaan personil lain akan mendidik mereka untuk tidak mandiri. Lalu, apakah bisa Anda disebut patriot di sini?

Demikianlah pemikiran seorang Altruis bergolongan darah A yang tentu saja akan berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Artikel ini tidak mendidik Anda untuk menjadi seorang egois karena bagaimanapun segala berlebihan tidaklah baik. Kerja sama itu penting, tapi bukan berarti menghandle sepenuhnya dan disini saya hanya menyampaikan bagaimana untuk bersikap lebih bijak dalam menghadapi fenomena dunia kerja. 

Be balance guys :)

Malang, 5 Februari 2013
23.30
Rizmy Otlani







Tidak ada komentar:

Posting Komentar