Sabtu, 02 Februari 2013

Pokok-Pokok Perubahan PMK18/PMK.03/2013

Foto: Primaironline
Peraturan Menteri Keuangan Nomor -18/PMK.03/2013 yang diundangkan pada tanggal 7 Januari 2013 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan merupakan pengganti PMK-202/PMK.03/2007. PMK ini menjelaskan lebih detail mengenai tata cara pemeriksaan Buper. Beberapa perubahan yang ada dalam PMK-18 seolah memberikan kewenangan lebih bagi pemeriksa Buper untuk melakukan pemeriksaan Buper tertutup terhadap Wajib Pajak Nakal yang sulit untuk digali informasinya.  Berikut ini disajikan beberapa pokok perubahan PMK-18/PMK.03/2013:
  1. Adanya penambahan definisi tentang penyegelan berdasarkan PMK-198/PMK.03/2007 pada pasal 1 angka 5. Hal ini sejalan dengan klausul ‘menimbang’ yang juga mencantumkan dasar PMK-198/PMK.03/2007.
  2. Definisi mengenai IDLP (Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan) dipindahkan pada pasal 2 (Bab II mengenai Ruang Lingkup dan Jenis Pemeriksaan Bukti Permulaan). Menurut penulis, tidak seharusnya definisi dicantumkan dalam pasal 2 sebab seluruh definisi yang berkaitan dengan isi peraturan seharusnya dicantumkan di pasal 1 sebagai nyawa dari sebuah peraturan perundang-undangan.  Terlebih lagi Bab II membahas mengenai Ruang Lingkup dan Jenis Pemeriksaan Bukti Permulaan. Padahal IDLP merupakan Bukti Permulaan yang walaupun berkaitan dengan Ruang Lingkup dan Jenis, tetap saja tidak berkaitan secara langsung.
  3. Adanya penghapusan definisi “tersangka” dan “saksi” yang merupakan unsur subjek tindak pidana. Hal ini berkaitan dengan perubahan pada pasal 7 ayat 3 huruf b PMK-18/PMK.03/2013 mengenai unsur yang harus dicantumkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan Buper.
  4. Terjadi sedikit perubahan ruang lingkup Pemeriksaan Buper pada pasal 3  ayat 2. Sebelumnya ruang lingkup Pemeriksaan Buper adalah satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.  Pada PMK-18, terdapat penambahan ruang lingkup yaitu indikasi tindak pidana di bidang perpajakan harus disertai dengan modus operandinya.  Hal ini dilakukan demi asas keadilan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak.
  5. Ruang lingkup pemeriksaan Buper pada PMK-18 dapat diperluas tanpa melakukan pengembangan analisis IDLP (Pasal 3 ayat 4)
  6. Perubahan utama yang terjadi pada PMK-18/PMK.03/2013 adalah bahwa Pemeriksaan Buper dapat dilakukan secara terbuka dengan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak atau secara tertutup tanpa pemberitahuan kepada Wajib Pajak (pasal 4). Meskipun pasal  ini memberikan keleluasaan bagi pemeriksa buper, hak wajib pajak tetap mendapat perhatian sebab pada pasal 4 ayat 4 pemeriksaan buper secara tertutup tidak boleh dilakukan terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP atau terhadap tindak lanjut dari Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan. Pelaksanaan pemeriksaan buper secara tertutup dilakukan dengan pengamatan (observasi), pembuntutan (surveillance), penyamaran (undercover), atau kegiatan intelijen lain.
  7. Standar umum pemeriksaan bukti permulaan dalam pasal 6 mengalami perubahan yaitu pemeriksa buper harus merupakan  Penyidik PNS di lingkungan DJP yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan Buper. Sebelumnya dalam PMK-202/PMK.03/2007 pemeriksa Buper adalah pejabat fungsional pemeriksa pajak. Hanya saja dalam satu tim, setidaknya minimal ada satu penyidik. Dalam PMK baru, seluruh anggota dan ketua tim harus merupakan penyidik. Menurut penulis pertimbangan utama bahwa seorang pemeriksa buper harus merupakan penyidik PNS adalah untuk mempermudah proses penyidikan selanjutnya sebab pengetahuan mengenai WP telah dipahami.
  8. Ketentuan mengenai keharusan memberitahukan Pemeriksaan Buper terhadap WP badan yang tidak mau memberikan dokumen pada saat pemeriksaan dihilangkan. Hal ini mengacu pada ketentuan PP  74 tahun 2011 Pasal 11 ayat 4 bahwa WP badan tersebut dapat dilakukan penghitungan secara jabatan seperti halnya terhadap orang pribadi. Sebelum PP 74 berlaku, WP badan yang tidak mau memberi dokumen pada saat pemeriksaan dapat dilakukan pemeriksan buper.
  9. Terdapat perubahan unsur-unsur yang harus dicantumkan dalam  Kertas Kerja Pemeriksaan Buper antara lain mengenai  dihapusnya unsur “informasi yang diperoleh dari sumbernya” sebab pemeriksan buper berdasarkan PMK ini bisa dilakukan secara tertutup dimana informasi tidak harus berasal dari sumbernya. Unsur modus operandi, pasal-pasal yang dilanggar, calon tersangka, calon pelaku pembantu, calon saksi,  diringkas menjadi unsur-unsur pidana yang disangkakan disertai penjelasannya.
  10. Unsur-unsur yang harus dicantumkan dalam Laporan Pemeriksaan Buper lebih dibuat umum dengan frase : pemenuhan kewajiban perpajakan serta pelaksanaan pemeriksaan buper. Hal ini dilakukan kuntuk memberikan keleluasaan kepada penyusun laporan pemeriksaan buper dalam menambahkan berbagai informasi yang penting. Selain itu, terdapat penambahan analisis kasus dan analisis yuridis.
  11. Ketentuan mengenai  tim pemeriksaan Buper diatur lebih detail dalam pasal 9. Yaitu terdiri dari 1 ketua kelompok, 1 ketua tim, dan satu atau beberapa anggota tim. Tim pemeriksa buper tersebut dapat dibantu oleh pegawai DJP yang memiliki keahlian tertentu atau tenaga ahli dari luar DJP.
  12. Demi kepastian hukum, terdapat ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan buper yaitu dilaksanakan paling lama dalam jangka waktu enam bulan dan dapat diperpanjang dengan menyampaikan permohonan perpanjangan kepada kepala unit Pemeriksa Buper paling lambat tujuh hari sebelum jangka waktu enam bulan berakhir.
  13. Kewajiban pemeriksa buper  untuk memberikan alasan / tujuan pemeriksaan Buper,  serta kewajiban pembinaan kepada WP ditiadakan. Selain itu, kewajiban untuk melakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan buper dengan WP badan sebagaimana dimaksud dalam poin 8 ditiadakan. Menurut penulis, ketentuan pembahasan akhir memang menjadi kontroversi sebelumnya (hal ini disampaikan langsung oleh dosen penyidik pajak Bapak Harun Tirta). Kemungkinan besar berkaitan dengan kondite pemeriksa Buper bahwa hal yang berkaitan dengan ranah pra pengadilan tidak seharusnya diperdebatkan dan dilakukan pembahasan untuk dicapai kesepakatan yang bersifat win-win solution.  
  14. Ketentuan mengenai penyegelan, serta peminjaman dokumen dan permintaan keterangan  diatur lebih detail seperti halnya ketentuan peminjaman dokumen dan permintaan keterangan dalam pemeriksaan untuk menguji kepatuhan.
  15. Ketentuan mengenai pengungkapan ketidakbenaran sebelum penyidikan berdasaran Pasal 8 ayat 3 UU KUP diatur hanya untuk Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan Buper terbuka.
  16. Tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap WP yang melakukan pengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sesuai dengan keadaan sebenarnya (Pasal 8 ayat 3 UU KUP), WP yang meninggal dunia, atau dalam hal tidak ditemukan tindak pidana di bidang perpajakan, adalah dengan penghentian pemeriksaan Buper diikuti dengan pemberitahuan kepada unit pemeriksa/ KPP yang bersangkutan. Sebelumnya dalam PMK-202 penghentian dilakukan dengan pembuatan laporan sumir.
  17. Terdapat ketentuan baru dalam hal ditemukan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak lain yaitu dengan membuat laporan perkembangan yang disampaikan kepada KPP tempat WP terdaftar.

Demikianlah telah dijabarkan pokok-pokok perubahan PMK-18/PMK.03/2013 berdasarkan penafsiran penulis. Sementara itu, ketentuan mengenai IDLP masih diatur dalam PER-38/PJ/2010 dan belum ada perubahan sehingga secara hukum masih tetap sah berlaku sampai ada ketentuan yang menggantikan.

Malang, 2 Februari 2013
Rizmy Otlani Novastria




Tidak ada komentar:

Posting Komentar